Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Bongkar Kerancuan Argumen Hakim yang Batalkan Status Tersangka Eddy Hiariej

Kompas.com - 31/01/2024, 20:27 WIB
Syakirun Ni'am,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut argumen Majelis Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Estiono yang mencabut status tersangka Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy keliru

Eddy merupakan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) yang disangka menerima suap dan gratifikasi. Namun, status tersangka itu dicabut Estiono dalam putusan sidang praperadilan.

Peneliti ICW Diky Anandya mengatakan, putusan praperadilan hakim tunggal Estiono itu menjadi pukulan telak bagi pemberantasan korupsi.

“ICW mencatat dua argumentasi untuk menyatakan bahwa pertimbangan hakim Estiono jelas mengandung kekeliruan,” ujar Diky dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu (31/1/2024).

Baca juga: Deretan Kekalahan KPK dalam Praperadilan, dari Budi Gunawan sampai Eddy Hiariej

Menurut Diky, Estiono luput karena hanya melihat sedikit dari banyak 80 surat atau dokumen, 16 keterangan saksi termasuk Eddy, dan satu orang ahli.

Dengan demikian, menurut ICW, KPK sudah memenuhi 2 alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Selain itu, ICW juga membela KPK mengenai waktu dalam memperoleh alat bukti yang dipersoalkan Estiono dalam pertimbangan hukumnya.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 maupun Pasal 44 Ayat (2) Undang-Undang (UU) KPK, hanya diatur mengenai jumlah dan jenis bukti permulaan.

Baca juga: Profil Eddy Hiariej, Eks Wamenkumham yang Status Tersangkanya Gugur

“Baik Putusan MK dan PERMA tersebut tidak mengatur dan tidak membatasi tentang kapan tahapan bukti permulaan harus diperoleh oleh penyelidik maupun penyidik untuk menetapkan tersangka,” kata Diky.

Di sisi lain, Pasal 44 UU KPK Ayat (1) bahkan menyebutkan ketentuan pelaporan alat bukti yang ditemukan “penyelidik” dilakukan maksimal tujuh hari kerja kepada lembaga antirasuah.

Sementara, Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bukti permulaan dianggap cukup jika sudah ditemukan minimal dua alat bukti. Artinya, alat bukti yang ditemukan pada saat penyelidikan itu bisa digunakan.

Di sisi lain, KPK selalu menetapkan seseorang sebagai tersangka bersamaan dengan keputusan menaikkan perkara dari penyelidikan ke penyidikan.

Hal berbeda dengan hukum acara di kepolisian yang menetapkan status perkara menjadi penyidikan terlebih dahulu, melakukan pemeriksaan baru kemudian menetapkan tersangka.

Baca juga: Jejak Dugaan Korupsi Wamenkumham Eddy Hiariej, Sempat Revisi Praperadilan Berujung Menang

Adapun dalam pertimbangan hukum itu, Estiono mempersoalkan alat bukti KPK yang dikumpulkan mengacu pada surat perintah dimulainya penyelidikan (Sprinlidik), bukan pada surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik).

Meski demikian, kata Diky, karena putusan praperadilan tidak bisa dibawa ke pengadilan tingkat II untuk banding, ICW mendorong agar KPK kembali menetapkan Eddy sebagai tersangka.

Penetapan status hukum ini dilakukan dengan menerbitkan sprindik.

“ICW mendorong agar KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk dapat menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka,” tutur Diky.

Sebelumnya, dalam pertimbangan putusan Hakim Tunggal PN Jaksel Estiono menyebut barang bukti untuk menetapkan Eddy dinilai tidak sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP itu, penetapan tersangka Eddy oleh KPK dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hukum tetap.

Dalam putusannya, Estiono pun mencabut status tersangka Eddy.

“Menimbang, bahwa oleh karena penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak memenuhi minimum 2 alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” kata Estiono dalam sidang.

Menanggapi pertimbangan ini, Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan terdapat perbedaan pendapat antara hakim dan KPK menyangkut dasar hukum penetapan tersangka.

Sebab, kata Ali, KPK menggunakan Pasal 44 dalam UU KPK lama maupun terbaru karena tidak terdapat perubahan.

Dalam perkara ini, Eddy diduga bersama-sama dua anak buahnya, Yogi Arie Rukmana yang berstatus sebagai staf pribadi dan pengacara sekaligus mantan mahasiswanya, Yosi Andika Mulyadi menerima suap dan gratifikasi Rp 8 miliar.

Uang itu diberikan oleh Direktur Utama perusahaan nikel, PT Citra Lampia Mandiri (CLM)., Helmut Hermawan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, sebagian uang diserahkan Helmut kepada Eddy sebagai biaya fee jasa konsultasi hukum terkait administrasi hukum umum (AHU). Helmut tengah menghadapi sengketa di internal perusahaan.

"Besaran fee yang disepakati untuk diberikan Helmut Hermawan pada Eddy sejumlah sekitar Rp 4 miliar," kata Alex dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2023).

Kemudian, Rp 1 miliar lagi untuk keperluan pribadi Eddy dan Rp 3 miliar lain setelah Eddy menjanjikan bisa menghentikan kasus hukum yang membelit Helmut di Bareskrim Polri.

Saat ini, Eddy dan Helmut tengah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com