Eddy merupakan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) yang disangka menerima suap dan gratifikasi. Namun, status tersangka itu dicabut Estiono dalam putusan sidang praperadilan.
Peneliti ICW Diky Anandya mengatakan, putusan praperadilan hakim tunggal Estiono itu menjadi pukulan telak bagi pemberantasan korupsi.
“ICW mencatat dua argumentasi untuk menyatakan bahwa pertimbangan hakim Estiono jelas mengandung kekeliruan,” ujar Diky dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu (31/1/2024).
Menurut Diky, Estiono luput karena hanya melihat sedikit dari banyak 80 surat atau dokumen, 16 keterangan saksi termasuk Eddy, dan satu orang ahli.
Dengan demikian, menurut ICW, KPK sudah memenuhi 2 alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Selain itu, ICW juga membela KPK mengenai waktu dalam memperoleh alat bukti yang dipersoalkan Estiono dalam pertimbangan hukumnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 maupun Pasal 44 Ayat (2) Undang-Undang (UU) KPK, hanya diatur mengenai jumlah dan jenis bukti permulaan.
“Baik Putusan MK dan PERMA tersebut tidak mengatur dan tidak membatasi tentang kapan tahapan bukti permulaan harus diperoleh oleh penyelidik maupun penyidik untuk menetapkan tersangka,” kata Diky.
Di sisi lain, Pasal 44 UU KPK Ayat (1) bahkan menyebutkan ketentuan pelaporan alat bukti yang ditemukan “penyelidik” dilakukan maksimal tujuh hari kerja kepada lembaga antirasuah.
Sementara, Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bukti permulaan dianggap cukup jika sudah ditemukan minimal dua alat bukti. Artinya, alat bukti yang ditemukan pada saat penyelidikan itu bisa digunakan.
Di sisi lain, KPK selalu menetapkan seseorang sebagai tersangka bersamaan dengan keputusan menaikkan perkara dari penyelidikan ke penyidikan.
Hal berbeda dengan hukum acara di kepolisian yang menetapkan status perkara menjadi penyidikan terlebih dahulu, melakukan pemeriksaan baru kemudian menetapkan tersangka.
Adapun dalam pertimbangan hukum itu, Estiono mempersoalkan alat bukti KPK yang dikumpulkan mengacu pada surat perintah dimulainya penyelidikan (Sprinlidik), bukan pada surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik).
Meski demikian, kata Diky, karena putusan praperadilan tidak bisa dibawa ke pengadilan tingkat II untuk banding, ICW mendorong agar KPK kembali menetapkan Eddy sebagai tersangka.
Penetapan status hukum ini dilakukan dengan menerbitkan sprindik.
“ICW mendorong agar KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk dapat menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka,” tutur Diky.
Sebelumnya, dalam pertimbangan putusan Hakim Tunggal PN Jaksel Estiono menyebut barang bukti untuk menetapkan Eddy dinilai tidak sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP itu, penetapan tersangka Eddy oleh KPK dianggap tidak sah dan tidak berkekuatan hukum tetap.
“Menimbang, bahwa oleh karena penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak memenuhi minimum 2 alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” kata Estiono dalam sidang.
Menanggapi pertimbangan ini, Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan terdapat perbedaan pendapat antara hakim dan KPK menyangkut dasar hukum penetapan tersangka.
Sebab, kata Ali, KPK menggunakan Pasal 44 dalam UU KPK lama maupun terbaru karena tidak terdapat perubahan.
Dalam perkara ini, Eddy diduga bersama-sama dua anak buahnya, Yogi Arie Rukmana yang berstatus sebagai staf pribadi dan pengacara sekaligus mantan mahasiswanya, Yosi Andika Mulyadi menerima suap dan gratifikasi Rp 8 miliar.
Uang itu diberikan oleh Direktur Utama perusahaan nikel, PT Citra Lampia Mandiri (CLM)., Helmut Hermawan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, sebagian uang diserahkan Helmut kepada Eddy sebagai biaya fee jasa konsultasi hukum terkait administrasi hukum umum (AHU). Helmut tengah menghadapi sengketa di internal perusahaan.
"Besaran fee yang disepakati untuk diberikan Helmut Hermawan pada Eddy sejumlah sekitar Rp 4 miliar," kata Alex dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2023).
Kemudian, Rp 1 miliar lagi untuk keperluan pribadi Eddy dan Rp 3 miliar lain setelah Eddy menjanjikan bisa menghentikan kasus hukum yang membelit Helmut di Bareskrim Polri.
Saat ini, Eddy dan Helmut tengah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
https://nasional.kompas.com/read/2024/01/31/20274671/icw-bongkar-kerancuan-argumen-hakim-yang-batalkan-status-tersangka-eddy