"Seperti disampaikan Pak Prabowo, dia tidak tahan menjadi oposisi dan apa yang terjadi?" kata Anies dengan nada tanya yang kemudian dijawabnya sendiri, "Beliau sendiri menyampaikan bahwa tidak berada dalam kekuasaan membuat tidak berbisnis karena itu harus berada dalam kekuasaan”.
Prabowo terlihat cukup tersengat. Sebelumnya Prabowo mengingatkan Anies bahwa dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta karena diusung Partai Gerindra yang kala itu sebagai oposisi.
Prabowo juga menepis anggapan bahwa meraih kekuasaan tidak identik dengan mengamankan bisnis. "Mas Anies, Mas Anies...," kata Prabowo saat menyadari dirinya sedang tersudut.
Sebagai pengusung jargon "perubahan", Anies Baswedan memang lebih bebas memosisikan dirinya sebagai antitesis dari kedua capres lainnya yang dinilai "berbau" Jokowi.
Soal Ibu Kota Negara (IKN), misalnya, Anies tetap memosisikan diri sebagai "penentang", meski tidak secara tegas menyatakan penentangannya itu.
Anies sadar bahwa menyatakan secara tegas "No" dengan IKN ‘bisa jadi’ membuat warga Kalimantan akan menyerangnya. Bagaimanapun IKN sudah menjadi kebanggaan warga Kalimantan dan telah menjadi kesepakatan Pemerintah (eksekutif) dengan DPR (legislatif) dalam bentuk Undang-undang.
Akhirnya dengan kelihaiannya berdebat, Anies mengumbar data dengan maksud mengangkat citra intelektualnya dengan mengatakan bahwa urusan DKI Jakarta dengan segala kesulitannya justru seharusnya ditangani dan diselesaikan, tidak lantas memindahkannya ke IKN. Demikian kilah Anies alih-alih menyatakan secara tegas ketidaksetujuannya itu.
Bagi Prabowo, ini adalah debat ketiga kalinya di panggung Pilpres saat ia berpasangan dengan Hatta Rajasa di Pilpres 2014 dan dengan Sandiaga Uno di Pilpres 2019.
Di kedua Pilpres sebelumnya ia dikalahkan oleh orang yang sama; Joko Widodo dengan cawapres masing-masing Jusuf Kalla dan Ma'ruf Amin.
Uniknya, dalam debat capres-cawapres Selasa malam itu, Prabowo justru menyanjung Jokowi, sebutan untuk Presiden RI, dan bertekad akan melanjutkan program-program junjungannya itu, termasuk IKN. Prabowo konsisten menjadi sintesis Jokowi.
Namun faktor usia tidak bisa dibohongi. Prabowo tampak tidak segesit dan seakas dua pilpres sebelumnya.
Pada debat capres perdana, retorikanya harus dikatakan tidak secanggih dua pesaingnya. Kata "harus" dan "ingin" terlalu banyak diumbar sehingga penjelasannya menjadi hambar.
Sementara Ganjar Pranowo cukup baik dalam retorika, tidak ada jeda, meski masih perlu memperdalam improvisasi karena masih tampak ragu dengan "positioning"-nya sebelum kemudian ia menemukan cara menyentuh sisi emosional publik.
Berbeda dengan Prabowo yang menganggap debat sebagai panggung hiburan, Ganjar tampak lebih santai dan sesekali melucu meski kadang seperti kehilangan kalimat selanjutnya.
Alhasil, ia banyak membuang waktu yang tersisa karena merasa sudah tidak ada lagi yang ingin dikatakannya. "Cukup, cukup...," katanya saat penelis mengingatkan bahwa waktu masih tersedia untuknya.
Ganjar Pranowo tentu telah mempersiapkan diri untuk tampil prima di debat pertama ini. Mimiknya meyakinkan publik, selain tenang juga kata-katanya terpilih.
"Sat-set" yang berarti gerak cepat menjadi jargonnya saat berdebat. Namun ia tetap menunggu di atas panggung manakala menyaksikan debat panas antara Prabowo dan Anies berlangsung, khususnya saat Prabowo mengingatkan Anies bahwa dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta berkat partai politik juga, yaitu Partai Gerindra.
Jika Anies mengusung perubahan, Prabowo menjadi sintesa Jokowi, Ganjar Pranowo belum menemukan positioning-nya yang pas saat berada di atas panggung.
Diametral seperti Anies tidak mungkin, terlalu loyal seperti Prabowo pun tidak mungkin dilakukannya.
Alhasil, publik akan mengingat kata "perubahan" sebagai Anies Baswedan, sedang "sintesis" sebagai keberlanjutan program Jokowi milik Prabowo.
Bagaimana dengan Ganjar? Posisi Ganjar tidak berada di antara "perubahan" dan "sintesis", tetapi ia menyentuh emosi publik dengan contoh kasus lapangan saat ia bertemu dengan sejumlah warga di berbagai daerah.
Di sisi lain, pertanyaannya berupa umpan matang disambar Anies sehingga menjadikan debat seolah-seolah panggung milik Anies. Padahal, penampilan Ganjar tak kalah matangnya dibanding Anies.