Dalam perspektif ini, Megawati memiliki hak-hak istimewa untuk mengekspresikan dirinya dengan cara membandingkan praktik kekuasaan masa silam dengan sekarang.
Megawati pernah dilumat dan dirampok oleh rezim masa lalu. Ia pernah digiling habis. Ketika ia terpilih sebagai ketua umum partai melalui mekanisme demokrasi yang fair, di Surabaya pada 1993, kemenangannya dianulir oleh pat gulipat kekuasaan. Ia dirampok di siang hari.
Belum habis di situ. Kemenangan mutlak partainya di zaman yang telah berubah, era reformasi, juga tidak membuatnya menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Melalui mekanisme persekongkolan di MPR, harapan Megawati dan para kadernya, terhempas oleh persekutuan tak sehat.
Megawati sejak berusia dini, sudah mengalami pasang surutnya politik. Karena itu, naluri politiknya sangat sensitif terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Radar politiknya peka sangat luar biasa. Ia dengan enteng mampu memilah, hiruk pilitik politik mana yang menguntungkan sesaat, dan mana yang memberi berkah jangka panjang.
Pekik Megawati hari-hari belakangan ini, adalah pekik hati nuraninya yang dipicu oleh ketajaman intuisi politiknya itu.
Ia tentu merasakan sekarang bahwa kekuasaan sudah memberi sinyal tentang bakal lumpuhnya demokrasi, kebebasan dan hati nurani, yang diperjuangkannya sedari dulu.
Pekiknya bukan sekadar reaksi sesaat. Pekiknya adalah akumulasi dari rentetan peristiwa ke belakang.
Ironi memang bagi seorang Megawati. Ia ditindih dan dilumat oleh rezim Orde Baru. Ia sukses keluar dari tindihan, dan menjadi pemenang.
Lalu, ia pun memelihara dan menokohkan kadernya sendiri. Dan ternyata, orang-orang yang dipelihara dan yang diperjuangkannya dengan segala ongkos itu, kembali menunjukkan gelagat menindih. Maka, ia pun meradang.
Saya pikir, Megawati tak tahan lagi menyaksikan adanya mobilisasi aparat negara yang didesain dan didesakkan untuk memenangkan orang tertentu dalam kontestasi demokrasi yang mestinya fair.
Megawati tak mampu lagi memahami bahwa demokrasi dan kebebasan yang dipejuangkannya mulai diakali.
Megawati menyaksikan bagaimana lembaga negara yang dibuat di eranya, seperti Mahkamah Konstitusi, institusi yang harusnya merawat konstitusi, dijadikan sebagai lembaga pengabsah keinginan politik yang melabrak dan mempreteli konstitusi.
Ia tentu sakit. Apalagi, pemanfaatan institusi tersebut terang benderang menohoknya dari belakang. Ia merawat, tetapi juga diterkam secara sistematis.