Salin Artikel

Tatkala Megawati Sudah Berpekik

Gelegar Megawati kali ini, adalah gelegar yang memberi isyarat jelas, ia tak tahan lagi dengan himpitan.

Megawati, sejatinya, adalah profil politisi yang selalu memilih jalan senyap. Tidak menempuh metode riak. Tak senang dengan kobaran api yang membakar ke mana-mana.

Perjalanan politik yang dilewatinya, penuh liku, padat dengan duri tajam yang setiap saat menggores dan menusuk sekujur tubuhnya.

Namun, ia tidak mengumbar kemarahan yang penuh amuk. Ia lebih banyak diam menerima realitasnya.

Selama ini, kondisi apa pun yang melilitnya, Megawati cenderung memilih metode urut dada ketimbang tepuk dada. Ia lebih terampil mengusap dada ketimbang busung dada sebagai maklumat perkelahian.

Ia cenderung memilih cara-cara seperti yang diajarkan oleh Mahathma Gandhi, Ahimsa: menghindari konflik fisik dan kekerasan.

Megawati sebenarnya sangat potensial melakukan perang dengan kekerasan demi komitmennya pada demokrasi dan kebebasan.

Ia memiliki struktur organisasi kepartaian yang solid ke bawah. Ia mempunyai kader-kader yang sangat ideologis dan militan serta sangat loyal pada dirinya.

Megawati mampu memelihara garis komando yang sangat rapi dan kuat terhadap kader-kadernya. Namun, ia tidak memiliki kehendak seperti itu, menempuh perang atau berkonflik.

Tak terampil mengasah golok perang, karena ia memang selalu memilih keterampilan mengasah intuisi melalui kedalaman kontemplasi.

Karena itu, Megawati dalam penampakan politik, cenderung berdiam diri, menempuh jalur sunyi. Di lintasan senyap itulah ia mengasah hati nuraninya. Karena itu, sensitivitas intuisinya sangat tajam.

Rasanya, di negeri kita sekarang ini, tidak ada lagi pemimpin partai politik, ataukah politisi, yang memiliki pengalaman dan jam terbang politik, sebanyak yang dipunya Megawati.

Ia pernah melewati masa-masa pelik yang melampaui akal sehat untuk memahaminya. Ia tak surut sedikit pun.

Kini, Megawati seolah menghardik terhadap praktik kekuasaan. Malah, ia membandingkan kekuasaan sekarang dengan praktik kekuasaan zaman Orde Baru. Masa kelam bagi demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia.

Dalam perspektif ini, Megawati memiliki hak-hak istimewa untuk mengekspresikan dirinya dengan cara membandingkan praktik kekuasaan masa silam dengan sekarang.

Megawati pernah dilumat dan dirampok oleh rezim masa lalu. Ia pernah digiling habis. Ketika ia terpilih sebagai ketua umum partai melalui mekanisme demokrasi yang fair, di Surabaya pada 1993, kemenangannya dianulir oleh pat gulipat kekuasaan. Ia dirampok di siang hari.

Belum habis di situ. Kemenangan mutlak partainya di zaman yang telah berubah, era reformasi, juga tidak membuatnya menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Melalui mekanisme persekongkolan di MPR, harapan Megawati dan para kadernya, terhempas oleh persekutuan tak sehat.

Megawati sejak berusia dini, sudah mengalami pasang surutnya politik. Karena itu, naluri politiknya sangat sensitif terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Radar politiknya peka sangat luar biasa. Ia dengan enteng mampu memilah, hiruk pilitik politik mana yang menguntungkan sesaat, dan mana yang memberi berkah jangka panjang.

Pekik Megawati hari-hari belakangan ini, adalah pekik hati nuraninya yang dipicu oleh ketajaman intuisi politiknya itu.

Ia tentu merasakan sekarang bahwa kekuasaan sudah memberi sinyal tentang bakal lumpuhnya demokrasi, kebebasan dan hati nurani, yang diperjuangkannya sedari dulu.

Pekiknya bukan sekadar reaksi sesaat. Pekiknya adalah akumulasi dari rentetan peristiwa ke belakang.

Ironi memang bagi seorang Megawati. Ia ditindih dan dilumat oleh rezim Orde Baru. Ia sukses keluar dari tindihan, dan menjadi pemenang.

Lalu, ia pun memelihara dan menokohkan kadernya sendiri. Dan ternyata, orang-orang yang dipelihara dan yang diperjuangkannya dengan segala ongkos itu, kembali menunjukkan gelagat menindih. Maka, ia pun meradang.

Saya pikir, Megawati tak tahan lagi menyaksikan adanya mobilisasi aparat negara yang didesain dan didesakkan untuk memenangkan orang tertentu dalam kontestasi demokrasi yang mestinya fair.

Megawati tak mampu lagi memahami bahwa demokrasi dan kebebasan yang dipejuangkannya mulai diakali.

Megawati menyaksikan bagaimana lembaga negara yang dibuat di eranya, seperti Mahkamah Konstitusi, institusi yang harusnya merawat konstitusi, dijadikan sebagai lembaga pengabsah keinginan politik yang melabrak dan mempreteli konstitusi.

Ia tentu sakit. Apalagi, pemanfaatan institusi tersebut terang benderang menohoknya dari belakang. Ia merawat, tetapi juga diterkam secara sistematis.

Dada Megawati saya yakin, sangat tersesak menyaksikan praktik kekuasaan kini, yang sudah menekan sedemikian rupa.

Ruang kebebasan sudah kian sempit. Konstitusi sebagai penjaga keutuhan bangsa, mulai dipreteli untuk kepentingan dan kepuasan kekuasaan itu sendiri.

Partai-partai politik sebagai jangkar demokrasi dan pilar hak asasi manusia, sudah dipaksa jadi barang komoditi yang tunduk dengan mekanisme pasar: supply and demand.

Yang lebih menyakitkan bagi seorang Megawati, ialah, rumahnya yang bernama Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), yang ia bangun dan rawat sendiri dan banyak orang menumpang dan mengambil keuntungan dari rumah itu, justru orang-orang yang diberi tumpangan itu, hendak merobohkan rumah tersebut.

Maka, pantaslah ia berpekik, mengingatkan, dan memberi ultimatum.

Pekik Megawati adalah pekik banyak orang. Protes Megawati adalah protes anak-anak bangsa, yang sudah melihat gelagat ketidakberesan dalam berdemokrasi.

https://nasional.kompas.com/read/2023/11/30/06000031/tatkala-megawati-sudah-berpekik

Terkini Lainnya

Profil Kemal Redindo, Anak SYL yang Minta 'Reimburse' Biaya Renovasi Kamar, Mobil sampai Ultah Anak ke Kementan

Profil Kemal Redindo, Anak SYL yang Minta "Reimburse" Biaya Renovasi Kamar, Mobil sampai Ultah Anak ke Kementan

Nasional
KPK Akan Undang Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta untuk Klarifikasi LHKPN

KPK Akan Undang Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta untuk Klarifikasi LHKPN

Nasional
Dian Andriani Ratna Dewi Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen di TNI AD

Dian Andriani Ratna Dewi Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen di TNI AD

Nasional
Indonesia Kutuk Perusakan Bantuan untuk Palestina oleh Warga Sipil Israel

Indonesia Kutuk Perusakan Bantuan untuk Palestina oleh Warga Sipil Israel

Nasional
Tanggapi Polemik RUU Penyiaran, Gus Imin: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Kutip Omongan Jubir

Tanggapi Polemik RUU Penyiaran, Gus Imin: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Kutip Omongan Jubir

Nasional
KPK Sita Rumah Mewah SYL Seharga Rp 4,5 M di Makassar

KPK Sita Rumah Mewah SYL Seharga Rp 4,5 M di Makassar

Nasional
Sedih Wakil Tersandung Kasus Etik, Ketua KPK: Bukannya Tunjukkan Kerja Pemberantasan Korupsi

Sedih Wakil Tersandung Kasus Etik, Ketua KPK: Bukannya Tunjukkan Kerja Pemberantasan Korupsi

Nasional
Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Nasional
Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Nasional
Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Nasional
Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Nasional
Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Nasional
Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Nasional
Mengganggu Pemerintahan

Mengganggu Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke