Menurut Niken, kepala daerah yang menolak atau dianggap menghalang-halangi PSN bisa diturunkan.
Baca juga: Pembangunan Insenerator PLTSa di Legok Nangka Dikritik Sejumlah Organisasi
Karena persoalan pengelolaan sampah ini, Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dalam rapat terbatas Agustus lalu meminta agar Perpres Nomor 35 Thun 2018 itu direvisi.
“Kemarin Pak Luhut di rapat terbatas 30 Agustus bilang, ‘ya sudah direvisi saja Perpresnya supaya lebih implementatif’,” kata Niken menirukan Luhut.
Sementara itu, Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan menyebut pihaknya ingin keuangan pada pengelolaan sampah efisien.
Pernyataan itu Pahala kemukakan dalam rapat koordinasi bersama pemerintah daerah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, Direktur Utama PT Semen Indonesia, Direktur Utama PT PLN Tbk, Tenaga Ahli Menteri ESDM, dan Gubernur DKI Jakarta Heru Budi.
Baca juga: PLTSa Putri Cempo Solo Ditargetkan Beroperasi Oktober 2023, Moeldoko Ungkap Masih Ada Kendala
Menurut Pahala yang saat ini menjabat Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, ketika pengelolaan keuangan tidak efisien maka pemerintah daerah akan mengalami pemborosan dan membebani APBD.
“Kita ingin lindungi Bapak Ibu sekalian dalam pengambilan keputusan bahwa pengelolaan sampah yang bapak ibu lakukan adalah yang paling efisien,” kata Pahala dalam pertemuan di ACLC KPK itu.
Niken mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian dan menemukan konsep PLTSa begitu mahal dan cenderung menguntungkan vendor atau pihak swasta.
PLTSa dibangun oleh pihak swasta yang ditunjuk. Mereka nantinya akan membakar sampah yang dikirim suatu pemerintah daerah untuk diubah menjadi listrik.
Niken mengungkapkan, Pemprov DKI Jakarta harus mengeluarkan Rp 700.000 sebagai biaya tipping fee per ton sampah.
Artinya, jika dalam satu hari terdapat 1.000 ton sampah maka Pemprov DKI Jakarta harus mengeluarkan Rp 700.000.000 per hari kepada vendor atau pihak swasta.
“Per ton. Bayangin kalau 1000 ton kamu bayar berapa itu sehari? Itu duit,” tutur Niken.
Baca juga: Pilot Project PLTSa Bantar Gebang, Sulap 9.879 Ton Sampah Jadi Energi Listrik
Selain menerima tipping fee dalam jumlah jumbo, pihak swasta yang mengelola PLTSa juga bisa mendapatkan keuntungan dari menjual listriknya kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN).
PLTSa, kata Niken, menjual listrik dengan kontrak take or pay. Mereka tetap dibayar 10 Mega Watt meskipun hanya menyetorkan 5 Mega Watt.
Konsep tersebut dinilai timpang karena membebani pemerintah daerah. Sementara, pihak swasta yang mengelola PLTSa mendapat untung dari Pemprov DKI Jakarta dan menjual listrik ke PLN.