Menjelang tahun pemilihan umum, bahasa seperti itu dapat menyesatkan publik, memengaruhi pilihan mereka dan arah pembuatan kebijakan masa depan.
Masyarakat yang tidak sepenuhnya sadar akan realitas yang ada tidak dapat meminta pertanggungjawaban para pemimpinnya atau mendorong perubahan yang berarti.
Di saat Indonesia berada di ambang transformasi politik dan ekonomi yang signifikan, kebutuhan berdialog yang lugas dan tidak berbelit-belit menjadi sangat penting.
Para pemilih berhak untuk mengetahui realitas negara sesungguhnya, bahkan jika realitas tersebut “tidak nyaman”. Strategi yang efektif dapat dirumuskan dan diimplementasikan melalui penilaian yang jernih terhadap tantangan-tantangan negara.
Seiring dengan persiapan Indonesia menuju Pemilu 2024, wacana politik harus bergeser dari eufemisme menuju bahasa yang menghargai kecerdasan dan kemandirian rakyat Indonesia.
Hanya dengan demikian, proses demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, didukung para pemilih yang terinformasi dan aktif, yang mampu mengambil keputusan yang akan menentukan masa depan bangsa.
Tanggung jawab terletak pada para pejabat, media, dan masyarakat sipil untuk membina lingkungan di mana transparansi lebih dihargai daripada pengaburan kebenaran.
Pengaburan kebenaran melalui eufemisme juga dapat menciptakan kesenjangan antara realitas hidup warga negara dan versi “bersih” yang definisikan oleh para pejabat.
Kesenjangan ini dapat mengikis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik, karena warga negara menyikapi pernyataan para pemimpin secara skeptis, mempertanyakan integritas informasi yang diberikan kepada mereka.
Skeptisisme itu akan berdampak signifikan di tahun politik. Ketika para pemilih tidak dapat memercayai pernyataan atau bahasa para pemimpin mereka, proses membuat keputusan yang tepat di tempat pemungutan suara menjadi terganggu.
Fondasi demokrasi, yang bergantung pada keterlibatan warga negara dan informasi, menjadi lemah ketika para pejabat menggunakan bahasa yang mengaburkan dan bukannya memperjelas kebenaran.
Lebih jauh lagi, penggunaan eufemisme secara strategis dapat dilihat sebagai upaya yang disengaja untuk memanipulasi proses pemilu.
Dengan melunakkan dampak berita negatif, para pejabat mungkin berusaha menjaga stabilitas dan kontrol politik menjelang pemilu.
Namun, stabilitas jangka pendek ini harus dibayar mahal: “kesehatan” jangka panjang dari proses demokrasi dan kemampuan masyarakat untuk merespons krisis dengan urgensi dan sumber daya yang diperlukan.
Ketergantungan pada eufemisme juga menimbulkan pertanyaan tentang dinamika kekuasaan yang melekat dalam komunikasi politik.