Mereka yang berada dalam posisi otoritas memiliki sarana untuk membentuk narasi yang menguntungkan mereka, seringkali dengan mengorbankan dialog yang transparan dan jujur tentang tantangan masyarakat.
Hal ini dapat melanggengkan status quo yang menguntungkan mereka yang berkuasa, sementara kebutuhan dan suara kaum marjinal tetap tidak didengar atau kurang terwakili.
Di bawah bayang-bayang eufemisme yang dilontarkan oleh para pejabat, Pemilu 2024 mendatang di Indonesia menjadi bukti perlunya kejujuran dalam pemerintahan.
Pelunakan bahasa secara strategis oleh tokoh-tokoh seperti Sri Mulyani dan Ma'ruf Amin tidak hanya mengaburkan realitas tantangan ekonomi dan sosial, tetapi juga berisiko membuat para pemilih mati rasa terhadap urgensi isu-isu ini.
Seiring dengan bergeraknya bangsa ini menuju titik politik yang menentukan, bangsa ini harus membuka tabir ambiguitas dan menuntut transparansi. Melalui pandangan yang teguh inilah demokrasi tidak hanya diuji, tetapi juga diperkuat.
Oleh karena itu, seruan untuk menolak eufemisme bukan hanya kritik terhadap retorika politik, melainkan juga seruan bagi para pemilih yang siap untuk menentukan nasibnya dengan mata terbuka lebar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.