Boleh jadi tak sedikit yang bergelar tinggi, lulusan pascasarjana dari negara maju, nada bicara yang penuh antusias, bahkan terlihat sangat ambisius, tapi "rasa politik" yang mereka perjuangkan adalah rasa dari hasil racikan senior-seniornya, tak lebih dari itu juga.
Tak terkecuali Menteri Pemuda dan Olahraga hari ini. Menikmati jejaring politik orangtua dan mertua, pun dijadikan simbol politik anak muda oleh ketua partainya.
Walhasil, tidak lama berselang setelah didaulat menjadi menteri, namanya justru terseret kasus BTS dengan angka Rp 27 miliar yang menyelimutinya.
Mengapa bisa begitu? Karena kekuasaan bukanlah sesuatu yang sederhana. Bukan sesuatu yang jika "dikencingi" sedikit bisa berubah aroma dan rasanya, dan bukan sesuatu yang mendadak jinak jika anak muda yang memegangnya, sama sekali bukan.
Jadi, bagi generasi muda yang sudah "menceburkan" diri ke dalam pertarungan kekuasaan, bersiaplah "hijrah" untuk tidak lagi menjadi seseorang sebagaimana Anda hari ini, jika Anda ternyata benar-benar tidak hadir dengan membawa perbedaan.
Pada dasarnya, tak ada dikotomi antara muda dan tua di dalam hal kepemimpinan. "If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader", kata John Quincy Adams.
Artinya, dengan komposisi demografi yang didominasi oleh generasi milenial dan gen Z, tidak berarti bahwa untuk mewakili atau merepresentasikan pemilih mayoritas di panggung kepemimpinan nasional harus pula datang dari rentang umur yang sama.
Karena secara prinsipil, kepemimpinan tidak tersekat-sekat oleh batas generasi. Selama para calon pemimpin yang akan berlaga di Pilpres 2024 nanti memiliki kapasitas sebagaimana disebutkan oleh John Quincy Adams di atas, maka ia adalah pemimpin. Bukan pemimpin untuk satu generasi, tapi pemimpin untuk semua.
Apalagi soal relasi pemimpin dengan kekuasaan tidak sesederhana yang dibayangkan. Perlu jam terbang yang panjang dan pengalaman mumpuni untuk menyiasati kekuasaan yang besar di tangan agar tidak dimanfaatkan secara destruktif, koruptif, dan kontraproduktif.
Kalau ada pengusaha rupa-rupa plus masih muda mendadak menjadi ketua umum partai tanpa berkeringat dan ‘berdarah-darah’ terlebih dahulu, misalnya, bukan berarti anak muda tersebut telah berhasil menjinakkan kekuasaan.
Boleh jadi maknanya adalah sebaliknya, didaulat jadi ketua partai untuk mengganti muka para jejaring kuasa yang sudah kedaluwarsa.
Pun kalau ada pengusaha yang berhasil menjadi wali kota, lalu kepincut melompat cepat ke Istana, itupun tidak berarti ia telah berhasil mengendalikan jejaring kekuasaan yang ada. Boleh jadi juga bermakna sebaliknya, yakni dijebak oleh jejaring elite oligarkis untuk menjadi ‘boneka’ mereka.
Bashar al-Assad dan Kim Jong Un sama-sama muda di saat dititipkan kuasa. Dan keduanya sama-sama penguasa yang menjalankan kekuasaan tidak kalah brutalnya dibanding orangtua pendahulu mereka.
Mereka boleh saja berpikir telah menjinakkan kekuasan di tangan mereka. Namun, nyatanya justru kekuasaan telah merasuki mereka, yang akhirnya menjadikan mereka simbol-simbol kejahatan politik abad 21.
Pun, misalnya, di Filipina di mana anak mantan presiden Rodrigo Duterte yang terbilang masih sangat muda bernama Sara Duterte-Caprio juga dicalonkan sebagai wakil presiden di saat bapaknya masih menjabat sebagai presiden Filipina.
Dan kemudian terpilih sebagai wakil dari Presiden Filipina saat ini, yaitu Ferdinand "BongBong" Marcos Jr.
Masalahnya, kualitas demokrasi di Filipina jauh lebih buruk dari Indonesia di mana jejaring keluarga sedari dulu memang sudah memainkan peran sangat penting. Jejaring kekeluargaan di sana mengusai proses politik dari tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan nasional.
Jadi sangat tidak heran di pemilihan tahun lalu, presiden terpilih dan wakil presiden terpilih sama-sama bukan orang baru. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga yang pernah menguasai panggung politik Filipina.
Lantas, jika kemudian di Indonesia yang kualitas demokrasinya jauh lebih baik ketimbang Filipina di satu sisi dan kurang terlalu mengakarnya "family politics" di sisi lain, maka pertanyaannya, mengapa masih ada yang terbilang sangat muda tapi sangat ingin sekali berkuasa? Tak bahaya ta!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.