Keduanya, termasuk pendahulu-pendahulu presiden dari Partai Demokrat, tidak banyak memberikan warna baru di dalam tata pemerintahan atau sistem ekonomi politik Amerika Serikat.
Obama, layaknya Clinton (pun Hillary), adalah penerus perjuangan propasar dan pro elite-elite ekonomi, dengan konsesi-konsesi berupa program sosial kemasyarakatan kepada para pemilihnya.
Beberapa waktu sebelum sorak-sorai ObamaCare, misalnya, ada triliunan dollar yang disuntikkan ke dalam sistem keuangan nasional Amerika Serikat. Dan secara ideologis, memang begitulah tradisi Partai Demokrat.
Di sisi lain, dunia juga sudah melihat bagaimana nasib pendobrak seperti John Fitzgerald Kennedy Presiden ke 35 Amerika Serikat yang menyuarakan amandemen kesetaraan kulit hitam dan putih di Amerika Serikat.
Saat itu, beliau masih terbilang muda, berapi-api, dan sangat ambisius. Oleh karena itu, peran Lyndon Baines Johnson Presiden ke 36 Amerika Serikat menjadi sangat signifikan sebagai penghubung Kennedy dengan kalangan tua.
Nyatanya nasib Kennedy tak lebih baik dibanding dengan nasib pencetus ide awal amanden yang serupa, Abraham Lincoln, yakni tewas dihunjam peluru.
Kennedy terbilang lebih muda dibanding Lincoln. Keduanya berjuang untuk menyuntikkan sesuatu yang baru ke dalam tatanan ekonomi politik Amerika Serikat. Hasilnya, mereka berdua justru menjadi martir.
Masyarakat Amerika Serikat tentu sangat bersyukur, Lyndon B Johnson dengan sangat arif dan berani melanjutkan perjuangan tersebut sampai lahirnya amandemen, meski perjuangannya dikenang sangat sulit dan berliku.
Di Indonesia, dari satu transisi ke transisi lainnya, sejarah mencatat juga terdapat cukup banyak politisi muda.
Tokoh-tokoh muda pada periode transisi 1965 adalah tokoh-tokoh yang mayoritas menjadi penopang berdiri tegaknya Orde Baru.
Tak berbeda dengan era Reformasi, tokoh muda era itu, saat ini sudah menjadi penikmat-penikmat kekuasaan. Beberapa di antaranya ada pula yang sudah berstatus koruptor. Ampun!
Apakah ada yang baru? Apakah karakter kekuasaan bisa mereka ubah? Sulit rasanya untuk menjawab "iya". Rezim memang berganti, pasal-pasal fundamental di dalam perundangan lama diubah, tapi kekuasaan tetap sebagaimana mulanya.
Nyatanya tak melulu politisi muda tampil sebagai aktor perubahan. Sekumpulan anak muda, yang digadang-gadang sebagai politisi muda dengan partai baru yang juga dianggap representasi kemudaan, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, adalah contoh menarik lainnya.
Belakangan terbukti PSI hanya menaikkan namanya dengan cara-cara berkontroversi, baik dengan politisi senior lainnya atau dengan tokoh-tokoh negara, pun dengan cara mencantol pada nama besar tokoh senior yang dianggap punya elektabilitas tinggi.
Kemudian pertanyaannya, apa hal baru yang mewakili "sisi politik generasi muda" yang diperjuangkan oleh PSI?
Rasanya juga sulit untuk menjawab "iya". Kalau PSI dominan bermain di ranah sosial media, ketagihan dengan gaya viral-viralan, atau ketagihan berkontroversi dengan isu-isu yang kurang signifikan, itu bukanlah tanda bahwa PSI mewakili sisi politik generasi muda.
PSI hanya memindahkan saluran komunikasi dari jalur konvensional ke komunikasi maya/digital, itu saja, tak lebih.
Dan asas kemudaan politisi muda di PSI masih dipertanyakan banyak kalangan karena di balik sepak terjang mereka, dikabarkan ada peran besar beberapa "majikan, broker politik, investor politik, yang berkedok mentor", yang tidak ingin tangannya terlihat publik.
Namun; meminjam pilihan diksi para komentator politik di dunia podcast, baunya sangat menyengat hidung.
Lantas bagaimana dengan politisi muda lainnya? Jawabannya pun sama, mereka rerata hanya perpanjangan tangan dari tokoh-tokoh seniornya di partai politik.