Salin Artikel

Kekuasaan Bukan Sesuatu yang Sederhana, Anak Muda!

Celakanya, pemain baru yang biasanya adalah tokoh-tokoh muda acapkali menyederhanakan kekuasaan, seolah kehadiran mereka akan mengubah banyak hal dalam tatanan politik.

Pada akhirnya, waktu dan sejarah membuktikan bahwa kekuasaan tidak bisa dipandang sesederhana itu. Kekuasaan tidak mudah ditundukkan hanya dengan mimpi-mimpi indah yang tercantol di dalam idealisme politisi muda.

Untuk menjadi pemain handal sekaligus idealistik di atas hamparan politik tak hanya butuh ilmu dan pengetahuan luas, tapi juga kebijaksanaan dan kearifan mapan, karakter kuat, determinasi tak lekang oleh keadaan apapun, dan kelincahan berdiplomasi interpersonal yang mumpuni.

Salah satu contoh menarik adalah Bashar al-Assad, misalnya. Presiden Suriah ke 19, yang dicap bertangan besi tersebut, pada awalnya adalah seorang dokter mata lulusan London, UK yang sangat lugu.

Anak kedua dari Hafez al-Assad, pemimpin Suriah tiga periode tersebut tidak direncanakan untuk menjadi suksesor bapaknya di Suriah.

Kematian kakak tertuanya akhirnya membuat Hafez harus mengambil keputusan untuk mendidik Bashar al-Asaad secara instan sebagai calon suksesor.

Dalam perjalanan waktu yang tidak terlalu panjang, kematian sang bapak membuat Bashar al-Asaad harus mengemban tugas sebagai seorang presiden pada usia 34 tahun.

Absennya kaderisasi pemimpin di Suriah, membuat Bashar al-Asaad dinobatkan jadi presiden setelah amandemen UU yang mengatur bahwa presiden harus berumur 40 tahun ke atas.

Pada mulanya, idealisme anak muda tampak bergelora. Bashar al-Asaad bersedia melakukan beberapa reformasi, seperti pengakuan terhadap kebebasan pers.

Namun pada akhirnya, keadaan dan hasrat untuk tetap berada di tampuk kekuasaan memaksa Asaad untuk bertangan besi, sebagaimana karakter kekuasaan dari pendahulunya.

Invasi Irak oleh Amerika Serikat membuat Asaad harus memutar otak agar riak Amerikanisasi tidak merembes ke negaranya. Bangkitnya kelompok fundamentalisme, kemudian bergeloranya semangat Arab Springs, menyisakan pilihan yang sulit bagi beliau.

Untuk tetap bertahan di atas singgasana kekuasaan, dibutuhkan berbagai cara yang cenderung antidemokratik. Kekerasan politik, beraliansi dengan negara yang tidak demokratik dan otoriter, memberangus lawan politik, dan lain-lain, adalah beberapa jalan yang harus ditempuh.

Semua tokoh yang mengenal Asaad sedari awal dengan gamblang bisa melihat perubahan drastis seorang dokter mata menjadi seorang presiden yang bertangan besi.

Nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari seorang Asaad yang lugu, antikekerasan, toleran, dan pemalu itu.

Dengan kata lain, kekuasaan di Suriah hingga hari ini masih berkarakter sama dengan kekuasaan semasa era bapaknya, sekalipun jangkauan kekuasaan tersebut nyaris tersisa 20-30 persen saja dibanding era sang ayahnya. Dan memang begitulah kekuasaan bekerja.

Tidak hanya ilmu dan pengetahuan luas yang dibutuhkan, tapi juga kearifan, kesiapan mental, karakter kuat, tekad bulat, dan kapasitas adaptasi mumpuni.

Dengan kombinasi semua itu, maka kekuasaan bisa diarahkan pada kebaikan rakyat, ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan lembut, dan untuk perdamaian.

Begitu pula dengan Barack Obama, sosok tokoh muda di belahan dunia lain, ia Presiden ke 44 negara Paman Sam.

Presiden Amerika Serikat pertama yang berkulit cokelat tersebut juga hanya penerus tradisi pendahulunya, Bill Clinton.

Keduanya, termasuk pendahulu-pendahulu presiden dari Partai Demokrat, tidak banyak memberikan warna baru di dalam tata pemerintahan atau sistem ekonomi politik Amerika Serikat.

Obama, layaknya Clinton (pun Hillary), adalah penerus perjuangan propasar dan pro elite-elite ekonomi, dengan konsesi-konsesi berupa program sosial kemasyarakatan kepada para pemilihnya.

Beberapa waktu sebelum sorak-sorai ObamaCare, misalnya, ada triliunan dollar yang disuntikkan ke dalam sistem keuangan nasional Amerika Serikat. Dan secara ideologis, memang begitulah tradisi Partai Demokrat.

Di sisi lain, dunia juga sudah melihat bagaimana nasib pendobrak seperti John Fitzgerald Kennedy Presiden ke 35 Amerika Serikat yang menyuarakan amandemen kesetaraan kulit hitam dan putih di Amerika Serikat.

Saat itu, beliau masih terbilang muda, berapi-api, dan sangat ambisius. Oleh karena itu, peran Lyndon Baines Johnson Presiden ke 36 Amerika Serikat menjadi sangat signifikan sebagai penghubung Kennedy dengan kalangan tua.

Nyatanya nasib Kennedy tak lebih baik dibanding dengan nasib pencetus ide awal amanden yang serupa, Abraham Lincoln, yakni tewas dihunjam peluru.

Kennedy terbilang lebih muda dibanding Lincoln. Keduanya berjuang untuk menyuntikkan sesuatu yang baru ke dalam tatanan ekonomi politik Amerika Serikat. Hasilnya, mereka berdua justru menjadi martir.

Masyarakat Amerika Serikat tentu sangat bersyukur, Lyndon B Johnson dengan sangat arif dan berani melanjutkan perjuangan tersebut sampai lahirnya amandemen, meski perjuangannya dikenang sangat sulit dan berliku.

Di Indonesia, dari satu transisi ke transisi lainnya, sejarah mencatat juga terdapat cukup banyak politisi muda.

Tokoh-tokoh muda pada periode transisi 1965 adalah tokoh-tokoh yang mayoritas menjadi penopang berdiri tegaknya Orde Baru.

Tak berbeda dengan era Reformasi, tokoh muda era itu, saat ini sudah menjadi penikmat-penikmat kekuasaan. Beberapa di antaranya ada pula yang sudah berstatus koruptor. Ampun!

Apakah ada yang baru? Apakah karakter kekuasaan bisa mereka ubah? Sulit rasanya untuk menjawab "iya". Rezim memang berganti, pasal-pasal fundamental di dalam perundangan lama diubah, tapi kekuasaan tetap sebagaimana mulanya.

Nyatanya tak melulu politisi muda tampil sebagai aktor perubahan. Sekumpulan anak muda, yang digadang-gadang sebagai politisi muda dengan partai baru yang juga dianggap representasi kemudaan, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, adalah contoh menarik lainnya.

Belakangan terbukti PSI hanya menaikkan namanya dengan cara-cara berkontroversi, baik dengan politisi senior lainnya atau dengan tokoh-tokoh negara, pun dengan cara mencantol pada nama besar tokoh senior yang dianggap punya elektabilitas tinggi.

Kemudian pertanyaannya, apa hal baru yang mewakili "sisi politik generasi muda" yang diperjuangkan oleh PSI?

Rasanya juga sulit untuk menjawab "iya". Kalau PSI dominan bermain di ranah sosial media, ketagihan dengan gaya viral-viralan, atau ketagihan berkontroversi dengan isu-isu yang kurang signifikan, itu bukanlah tanda bahwa PSI mewakili sisi politik generasi muda.

PSI hanya memindahkan saluran komunikasi dari jalur konvensional ke komunikasi maya/digital, itu saja, tak lebih.

Dan asas kemudaan politisi muda di PSI masih dipertanyakan banyak kalangan karena di balik sepak terjang mereka, dikabarkan ada peran besar beberapa "majikan, broker politik, investor politik, yang berkedok mentor", yang tidak ingin tangannya terlihat publik.

Namun; meminjam pilihan diksi para komentator politik di dunia podcast, baunya sangat menyengat hidung.

Lantas bagaimana dengan politisi muda lainnya? Jawabannya pun sama, mereka rerata hanya perpanjangan tangan dari tokoh-tokoh seniornya di partai politik.

Boleh jadi tak sedikit yang bergelar tinggi, lulusan pascasarjana dari negara maju, nada bicara yang penuh antusias, bahkan terlihat sangat ambisius, tapi "rasa politik" yang mereka perjuangkan adalah rasa dari hasil racikan senior-seniornya, tak lebih dari itu juga.

Tak terkecuali Menteri Pemuda dan Olahraga hari ini. Menikmati jejaring politik orangtua dan mertua, pun dijadikan simbol politik anak muda oleh ketua partainya.

Walhasil, tidak lama berselang setelah didaulat menjadi menteri, namanya justru terseret kasus BTS dengan angka Rp 27 miliar yang menyelimutinya.

Mengapa bisa begitu? Karena kekuasaan bukanlah sesuatu yang sederhana. Bukan sesuatu yang jika "dikencingi" sedikit bisa berubah aroma dan rasanya, dan bukan sesuatu yang mendadak jinak jika anak muda yang memegangnya, sama sekali bukan.

Jadi, bagi generasi muda yang sudah "menceburkan" diri ke dalam pertarungan kekuasaan, bersiaplah "hijrah" untuk tidak lagi menjadi seseorang sebagaimana Anda hari ini, jika Anda ternyata benar-benar tidak hadir dengan membawa perbedaan.

Pada dasarnya, tak ada dikotomi antara muda dan tua di dalam hal kepemimpinan. "If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader", kata John Quincy Adams.

Artinya, dengan komposisi demografi yang didominasi oleh generasi milenial dan gen Z, tidak berarti bahwa untuk mewakili atau merepresentasikan pemilih mayoritas di panggung kepemimpinan nasional harus pula datang dari rentang umur yang sama.

Karena secara prinsipil, kepemimpinan tidak tersekat-sekat oleh batas generasi. Selama para calon pemimpin yang akan berlaga di Pilpres 2024 nanti memiliki kapasitas sebagaimana disebutkan oleh John Quincy Adams di atas, maka ia adalah pemimpin. Bukan pemimpin untuk satu generasi, tapi pemimpin untuk semua.

Apalagi soal relasi pemimpin dengan kekuasaan tidak sesederhana yang dibayangkan. Perlu jam terbang yang panjang dan pengalaman mumpuni untuk menyiasati kekuasaan yang besar di tangan agar tidak dimanfaatkan secara destruktif, koruptif, dan kontraproduktif.

Kalau ada pengusaha rupa-rupa plus masih muda mendadak menjadi ketua umum partai tanpa berkeringat dan ‘berdarah-darah’ terlebih dahulu, misalnya, bukan berarti anak muda tersebut telah berhasil menjinakkan kekuasaan.

Boleh jadi maknanya adalah sebaliknya, didaulat jadi ketua partai untuk mengganti muka para jejaring kuasa yang sudah kedaluwarsa.

Pun kalau ada pengusaha yang berhasil menjadi wali kota, lalu kepincut melompat cepat ke Istana, itupun tidak berarti ia telah berhasil mengendalikan jejaring kekuasaan yang ada. Boleh jadi juga bermakna sebaliknya, yakni dijebak oleh jejaring elite oligarkis untuk menjadi ‘boneka’ mereka.

Bashar al-Assad dan Kim Jong Un sama-sama muda di saat dititipkan kuasa. Dan keduanya sama-sama penguasa yang menjalankan kekuasaan tidak kalah brutalnya dibanding orangtua pendahulu mereka.

Mereka boleh saja berpikir telah menjinakkan kekuasan di tangan mereka. Namun, nyatanya justru kekuasaan telah merasuki mereka, yang akhirnya menjadikan mereka simbol-simbol kejahatan politik abad 21.

Pun, misalnya, di Filipina di mana anak mantan presiden Rodrigo Duterte yang terbilang masih sangat muda bernama Sara Duterte-Caprio juga dicalonkan sebagai wakil presiden di saat bapaknya masih menjabat sebagai presiden Filipina.

Dan kemudian terpilih sebagai wakil dari Presiden Filipina saat ini, yaitu Ferdinand "BongBong" Marcos Jr.

Masalahnya, kualitas demokrasi di Filipina jauh lebih buruk dari Indonesia di mana jejaring keluarga sedari dulu memang sudah memainkan peran sangat penting. Jejaring kekeluargaan di sana mengusai proses politik dari tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan nasional.

Jadi sangat tidak heran di pemilihan tahun lalu, presiden terpilih dan wakil presiden terpilih sama-sama bukan orang baru. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga yang pernah menguasai panggung politik Filipina.

Lantas, jika kemudian di Indonesia yang kualitas demokrasinya jauh lebih baik ketimbang Filipina di satu sisi dan kurang terlalu mengakarnya "family politics" di sisi lain, maka pertanyaannya, mengapa masih ada yang terbilang sangat muda tapi sangat ingin sekali berkuasa? Tak bahaya ta!

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/30/05450071/kekuasaan-bukan-sesuatu-yang-sederhana-anak-muda-

Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] Proyek Fiktif di Tol MBZ Demi Uang Pelicin BPK | Grace Natalie Jadi Stafsus Presiden

[POPULER NASIONAL] Proyek Fiktif di Tol MBZ Demi Uang Pelicin BPK | Grace Natalie Jadi Stafsus Presiden

Nasional
Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke