Lalu, mengalirlah kisah di balik layar dari lima putusan perkara uji materi atas Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.
Satu lagi gugatan yang disebut tak terpisahkan dari alur perubahan arah angin keempat putusan di atas adalah perkara bernomor 91/PUU-XXI/2023, dengan amar putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Selain dari Saldi, putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 juga memuat dissenting opinion dari Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Adapun perkara nomor 91/PUU-XXI/2023, tidak ada perbedaan pendapat hakim di dalamnya.
Saldi mengelompokkan lima perkara itu sebagai dua gelombang gugatan. Gelombang pertama adalah perkara bernomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023. Adapun gelombang kedua mencakup perkara nomor 90 dan 91/PUU-XXI/2023.
Tiga perkara gelombang pertama dibahas dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH) pada 19 September 2023. Ada delapan hakim konstitusi yang ikut dalam RPH perkara gelombang pertama. Hanya Ketua MK, Anwar Usman, yang tidak hadir.
Beda cerita, lanjut Saldi dalam dissenting opinion-nya, RPH perkara gelombang kedua diikuti oleh sembilan hakim konstitusi, termasuk Anwar Usman.
Ketidakikutsertaan Anwar Usman dalam RPH gelombang pertama, ungkap Saldi, semula beralasan demi menghindari benturan kepentingan. Namun, belakangan, ketidakhadiran Usman dalam RPH gelombang pertama disebut karena sakit.
Salah satu pemohon dari tiga perkara gelombang pertama adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, merupakan keponakan Anwar Usman.
Namun, sekadar catatan, Kaesang baru menjadi Ketua Umum PSI pada Senin (25/9/2023), setelah mendapat kartu anggota pada Sabtu (23/9/2023). Adapun RPH tiga perkara gelombang pertama sudah dilakukan pada Selasa (19/9/2023), sebagaimana terkmaktub dalam tracking perkara di laman MK dan amar putusan.
Kembali ke dissenting opinion Saldi. Menurut Saldi, keterlibatan Anwar Usman dalam RPH setelah ketiga perkara gelombang pertama berdampak pada perubahan arah angin pengambilan putusan. Dia menuturkan detail perubahan-perubahan sikap dan pandangan dari para hakim konstitusi sejak itu.
Saldi sampai bertanya, andai Anwar Usman ikut dalam RPH untuk tiga perkara gelombang pertama, apakah putusan perkara yang didapat pun akan berbeda?
Dissenting opinion Saldi dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak hanya memuat kejanggalan soal ketidakhadiran dan kehadiran Anwar Usman beserta implikasi putusan yang dihasilkan di masing-masing perkara.
Selain soal itu, ada pula proses formal administratif yang juga dianggap janggal, terutama terkait perkara nomor 90 dan 91/PUU-XXI/2023.
Kejanggalan soal prosedur formal administratif ini juga disinggung oleh hakim konstitusi Arief Hidayat, yang sama-sama mengajukan dissenting opinion untuk perkara tersebut.
Kedua hakim konstitusi menyoroti aneka kejanggalan dalam rangkaian proses pengambilan putusan lima perkara menyoal batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Berikut ini naskah lengkap dissenting opinion Saldi Isra yang dicuplik dari salinan putusan yang dinggah di laman MK untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, yang dapat diakses dan atau diunduh langsung dari sini:
Zainal melihat perubahan arah angin putusan MK dalam lima perkara yang menyoal hal yang sama ini semakin menegaskan pendapatnya bahwa palu MK sudah lama patah di hadapan politik.
"Saya bilang, memang palu MK sudah lama patah. (Putusan-putusan) ini menunjukkan betapa rentan palu MK patah di hadapan politik," ungkap Zainal, masih dari percakapan pada Senin malam.
Pendapat ini Zainal tuangkan pula dalam tulisan opini yang tayang di harian Kompas edisi Selasa (17/10/2023), berjudul "Patah Palu Hakim di Hadapan Politik".
Salah satu yang kemudian juga menjadi sorotan Zainal adalah soal kejanggalan terkait pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara yang terjadi dalam gugatan 90 dan 91/PUU-XXI/2023.
Menurut Zainal, kontroversi ini patut menjadi momentum untuk mereformasi MK. Yang pertama, sebut dia, harus ada pembenahan menyeluruh soal hukum beracara di MK. Tujuannya jelas, tak ada lagi kejadian pencabutan dan pembatalan pencabutan seperti di kasus di atas.
Lalu, Zainal pun melihat perlu dikaji kembali soal masa jabatan dan usia maksimal hakim konstitusi. Menurut dia, pembatasan perlu dilakukan lebih ketat demi menjaga integritas para hakim konstitusi dan MK.