Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Ketika Hakim Konstitusi Saldi Isra Bertanya, Quo Vadis MK?

Kompas.com - 17/10/2023, 15:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"QUO vadis Mahkamah Konstitusi?"

Kalimat di atas menjadi akhir pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi Saldi Isra, Senin (16/10/2023), untuk putusan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Diambil dari bahasa Latin, terjemahan bebas kalimat tersebut adalah "hendak ke mana MK?". 

Dalam 12 lembar dokumen ukuran standar dokumen putusan hukum yang kemudian diucapkan pada Senin petang, Saldi mengungkap kronologi rangkaian lima putusan perkara untuk pokok persoalan hukum yang sama tetapi memberikan hasil bertolak belakang 180 derajat.

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, sampai menyebut dissenting opinion Saldi lebih seperti kemarahan daripada penyampaian sebuah beda pendapat hukum.

"Tapi itu menarik karena ceritakan bobroknya MK," kata Zainal, saat berbincang dengan Kompas.com, Senin malam. 

Cerita lima perkara

Sejak Senin pagi, Majelis Hakim MK berturut-turut membacakan putusan perkara uji materi terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Tulisan ini berfokus pada lima perkara yang putusannya dibacakan mulai Senin pagi hingga petang dan berujung kontroversi.

Syarat pencalonan yang dimintakan uji materi dalam lima perkara itu pun sama, yaitu klausul Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyoal batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden.

Lengkapnya, pasal itu berbunyi, "Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”

Beda dalam aneka gugatan yang diajukan hanya berkisar soal rentang usia minimal yang lebih rendah dari 40 tahun—dalam rentang 25 tahun hingga 35 tahun—atau alternatif lain yang memungkinkan batas usia itu dinegasikan, seperti pernah atau masih menjadi penyelenggara negara.

Putusan untuk tiga perkara pertama, bernomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, mulus-mulus saja dibacakan. Amar putusan menyatakan menolak gugatan untuk seluruhnya, walaupun ada dissenting opinion dari dua hakim konstitusi di masing-masing putusan, yaitu dari Suhartoyo dan M Guntur Hamzah.

Dalam tiga putusan ini, dengan beragam pertimbangan hukum yang didalilkan, pada intinya majelis bersepakat bahwa penentuan batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden dikembalikan kepada pembuat UU. Istilah teknisnya, open legal policy.

Antara lain ditegaskan, bila sampai MK yang menentukan soal syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden maka fleksibelitas klausul persyaratan pencalonan justru akan hilang.

Putusan tersebut sudah berdasarkan pertimbangan yang salah satunya sampai melihat original intent perubahan UUD 1945, yang dalam pembahasannya pun sudah mencakup perdebatan soal batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden.

Media massa sudah memberitakan ketiga putusan itu secara sambung-menyambung. Semua sudah berpikir, putusan-putusan berikutnya terkait persoalan yang sama bakal memberikan hasil yang kurang lebih tidak berbeda juga.

Tiba-tiba, keriuhan membuncah. Di tengah pengucapan putusan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023, publik mulai menyadari arah putusan berubah. Dan benarlah, untuk klausul yang sama, putusan perkara ini berkebalikan dengan tiga perkara sebelumnya.

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan, "(Pasal yang dimintakan uji materi) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah."

Melalui putusan yang dibacakan pada Senin petang tersebut, bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah menjadi, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Dissenting opinion Saldi Isra untuk putusan ini pun menambah keriuhan yang sudah muncul di publik akibat perubahan arah angin MK untuk putusan tentang klausul yang sama dan dibacakan pada hari yang sama pula. 

Terlebih lagi, dalam kalimat-kalimat awal dissenting opinion itu, Saldi pun secara harfiah mengatakan, "Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini."

Saldi mengaku, selama 6,5 tahun menjadi hakim konstitusi, baru kali ini dia mengalami peristiwa "aneh" dan "luar biasa".

"... dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ucap Saldi.

Lalu, mengalirlah kisah di balik layar dari lima putusan perkara uji materi atas Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.

Satu lagi gugatan yang disebut tak terpisahkan dari alur perubahan arah angin keempat putusan di atas adalah perkara bernomor 91/PUU-XXI/2023, dengan amar putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Selain dari Saldi, putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 juga memuat dissenting opinion dari Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Adapun perkara nomor 91/PUU-XXI/2023, tidak ada perbedaan pendapat hakim di dalamnya. 

Kronologi putusan 5 perkara menurut Saldi

Saldi mengelompokkan lima perkara itu sebagai dua gelombang gugatan. Gelombang pertama adalah perkara bernomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023. Adapun gelombang kedua mencakup perkara nomor 90 dan 91/PUU-XXI/2023.

Tiga perkara gelombang pertama dibahas dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH) pada 19 September 2023. Ada delapan hakim konstitusi yang ikut dalam RPH perkara gelombang pertama. Hanya Ketua MK, Anwar Usman, yang tidak hadir.

Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih periode 2023-2028 Anwar Usman (kiri) dan Saldi Isra (kanan) saling berjabat tangan usai pemilihan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/3/2023).ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih periode 2023-2028 Anwar Usman (kiri) dan Saldi Isra (kanan) saling berjabat tangan usai pemilihan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/3/2023).

Beda cerita, lanjut Saldi dalam dissenting opinion-nya, RPH perkara gelombang kedua diikuti oleh sembilan hakim konstitusi, termasuk Anwar Usman. 

Ketidakikutsertaan Anwar Usman dalam RPH gelombang pertama, ungkap Saldi, semula beralasan demi menghindari benturan kepentingan. Namun, belakangan, ketidakhadiran Usman dalam RPH gelombang pertama disebut karena sakit.

Salah satu pemohon dari tiga perkara gelombang pertama adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, merupakan keponakan Anwar Usman.

Namun, sekadar catatan, Kaesang baru menjadi Ketua Umum PSI pada Senin (25/9/2023), setelah mendapat kartu anggota pada Sabtu (23/9/2023). Adapun RPH tiga perkara gelombang pertama sudah dilakukan pada Selasa (19/9/2023), sebagaimana terkmaktub dalam tracking perkara di laman MK dan amar putusan.

Kembali ke dissenting opinion Saldi. Menurut Saldi, keterlibatan Anwar Usman dalam RPH setelah ketiga perkara gelombang pertama berdampak pada perubahan arah angin pengambilan putusan. Dia menuturkan detail perubahan-perubahan sikap dan pandangan dari para hakim konstitusi sejak itu. 

Saldi sampai bertanya, andai Anwar Usman ikut dalam RPH untuk tiga perkara gelombang pertama, apakah putusan perkara yang didapat pun akan berbeda?

Kejanggalan lain

Dissenting opinion Saldi dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak hanya memuat kejanggalan soal ketidakhadiran dan kehadiran Anwar Usman beserta implikasi putusan yang dihasilkan di masing-masing perkara.

Selain soal itu, ada pula proses formal administratif yang juga dianggap janggal, terutama terkait perkara nomor 90 dan 91/PUU-XXI/2023. 

Kejanggalan soal prosedur formal administratif ini juga disinggung oleh hakim konstitusi Arief Hidayat, yang sama-sama mengajukan dissenting opinion untuk perkara tersebut. 

Kedua hakim konstitusi menyoroti aneka kejanggalan dalam rangkaian proses pengambilan putusan lima perkara menyoal batas usia calon presiden dan wakil presiden. 

Berikut ini naskah lengkap dissenting opinion Saldi Isra yang dicuplik dari salinan putusan yang dinggah di laman MK untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, yang dapat diakses dan atau diunduh langsung dari sini: 

Perlu reformasi MK

Zainal melihat perubahan arah angin putusan MK dalam lima perkara yang menyoal hal yang sama ini semakin menegaskan pendapatnya bahwa palu MK sudah lama patah di hadapan politik. 

"Saya bilang, memang palu MK sudah lama patah. (Putusan-putusan) ini menunjukkan betapa rentan palu MK patah di hadapan politik," ungkap Zainal, masih dari percakapan pada Senin malam. 

Pendapat ini Zainal tuangkan pula dalam tulisan opini yang tayang di harian Kompas edisi Selasa (17/10/2023), berjudul "Patah Palu Hakim di Hadapan Politik". 

Tangkap layar artikel opini Zainal Arifin Mochtar berjudul Patah Palu Hakim di Hadapan Politik yang tayang di harian Kompas edisi Selasa (17/10/2023), menyoal rangkaian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. ARSIP KOMPAS Tangkap layar artikel opini Zainal Arifin Mochtar berjudul Patah Palu Hakim di Hadapan Politik yang tayang di harian Kompas edisi Selasa (17/10/2023), menyoal rangkaian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Salah satu yang kemudian juga menjadi sorotan Zainal adalah soal kejanggalan terkait pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara yang terjadi dalam gugatan 90 dan 91/PUU-XXI/2023. 

Menurut Zainal, kontroversi ini patut menjadi momentum untuk mereformasi MK. Yang pertama, sebut dia, harus ada pembenahan menyeluruh soal hukum beracara di MK. Tujuannya jelas, tak ada lagi kejadian pencabutan dan pembatalan pencabutan seperti di kasus di atas.

Lalu, Zainal pun melihat perlu dikaji kembali soal masa jabatan dan usia maksimal hakim konstitusi. Menurut dia, pembatasan perlu dilakukan lebih ketat demi menjaga integritas para hakim konstitusi dan MK. 

"Perlu perubahan UU MK," tegas Zainal.

Sayangnya, Zainal melihat ada gelagat untuk malah hendak menambah batas maksimal usia pensiun hakim konstitusi dalam wacana revisi UU MK. 

Terpisah, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa masyarakat saat ini rancu dalam melihat perkara uji materi soal syarat calon presiden dan wakil presiden ini dengan persoalan lain. 

"Gimmick di masyarakat campur aduk antara rules of games dan pencapresan," kata Jimly, Senin malam. 

Adapun terkait putusan lima perkara yang bertolak belakang dalam substansi persoalan yang sama tersebut, Jimly meminta publik menghormatinya sebagai putusan pengadilan.

"Hormati saja, meski tidak setuju. Meski saya tidak puas dengan putusan itu, tidak sependapat dengan putusan itu," kata Jimly lewat pembicaraan telepon. 

Jika memang putusan ini berimplikasi langsung pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024, Jimly melihat masih ada proses yang tidak singkat juga untuk serta merta kandidat sesuai kriteria putusan MK bisa berlaga. 

"Apa partai koalisi setuju? Ada risiko di-bully juga oleh kubu lain," ujar Jimly sembari mengemukakakan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi kandidat dengan kriteria seperti putusan MK.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com, setidaknya ada dua kandidat yang punya kans membesar untuk berlaga di Pemilu 2024 berdasarkan putusan terbaru MK, di antara banyak nama kepala daerah dan penyelenggara negara sesuai kriteria putusan MK.

Dua kandidat itu adalah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak. Gibran yang juga adalah putra sulung Presiden Joko Widodo sudah digocek berkali-kali soal kemungkinan menjadi bakal calon wakil presiden, bahkan sejak sebelum ada putusan perkara ini.

Adapun Emil Dardak, meski tak sesanter gocekan laiknya Gibran soal peluang menjadi bakal calon wakil presiden, adalah salah satu pemohon dalam rentetan lima perkara uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.

Sekalipun gugatan Emil dkk ditolak, yaitu perkara nomor 55/PUU-XXI/2023, perubahan arah angin putusan MK di perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibilang "membatalkan" yang telah ditolak di perkara yang diajukan Emil dkk.

Menjadi menarik pula, perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 dan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sejatinya sama-sama membangun argumentasi pengalaman sebagai penyelenggara negara untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, sebagai alternatif batas minimal usia 40 tahun sebagaimana diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 sebelum putusan MK.

Peneliti senior Ipsos Indonesia, Arif Nurul Imam, berpendapat jalan demokrasi makin terjal dengan putusan MK ini. Dissenting opinion Saldi Isra, kata dia, sudah bercerita dan menggambarkan teramat gamblang ancaman yang kini dihadapi demokrasi.

Tak dapat disangkal, kata Arif, publik tetap akan menyoroti kans Gibran melenggang ke kontestasi kepemimpinan nasional berdasarkan putusan MK yang perkaranya ditangani oleh sang paman. 

Meskipun, tegas Arif, Gibran sejatinya tak punya cukup daya ungkit elektoral kalaupun benar-benar akan menggunakan putusan MK ini sebagai pintu masuk berkontestasi di Pemilu Presiden 2024. 

Belum lagi, Gibran juga akan berhadapan dengan banyak persoalan bila berlaga di Pemilu Presiden 2024 untuk kandidat yang tidak diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Bagaimana pun, kata Arif, Gibran masih menjadi anggota partai itu.

"(Tapi), kalau kemudian benar dengan putusan MK ini Gibran maju (menjadi bakal calon wakil presiden), dinasti politik (Jokowi) terjadi. Itu kan yang dikhawatirkan," ujar Arif, Selasa (17/10/2023). 

Dari semua catatan ini, penutup dissenting opinion Saldi Isra makin nyaring terdengar, quo vadis MK?

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Nasional
KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com