"Perlu perubahan UU MK," tegas Zainal.
Sayangnya, Zainal melihat ada gelagat untuk malah hendak menambah batas maksimal usia pensiun hakim konstitusi dalam wacana revisi UU MK.
Terpisah, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa masyarakat saat ini rancu dalam melihat perkara uji materi soal syarat calon presiden dan wakil presiden ini dengan persoalan lain.
"Gimmick di masyarakat campur aduk antara rules of games dan pencapresan," kata Jimly, Senin malam.
Adapun terkait putusan lima perkara yang bertolak belakang dalam substansi persoalan yang sama tersebut, Jimly meminta publik menghormatinya sebagai putusan pengadilan.
"Hormati saja, meski tidak setuju. Meski saya tidak puas dengan putusan itu, tidak sependapat dengan putusan itu," kata Jimly lewat pembicaraan telepon.
Jika memang putusan ini berimplikasi langsung pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024, Jimly melihat masih ada proses yang tidak singkat juga untuk serta merta kandidat sesuai kriteria putusan MK bisa berlaga.
"Apa partai koalisi setuju? Ada risiko di-bully juga oleh kubu lain," ujar Jimly sembari mengemukakakan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi kandidat dengan kriteria seperti putusan MK.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, setidaknya ada dua kandidat yang punya kans membesar untuk berlaga di Pemilu 2024 berdasarkan putusan terbaru MK, di antara banyak nama kepala daerah dan penyelenggara negara sesuai kriteria putusan MK.
Dua kandidat itu adalah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak. Gibran yang juga adalah putra sulung Presiden Joko Widodo sudah digocek berkali-kali soal kemungkinan menjadi bakal calon wakil presiden, bahkan sejak sebelum ada putusan perkara ini.
Adapun Emil Dardak, meski tak sesanter gocekan laiknya Gibran soal peluang menjadi bakal calon wakil presiden, adalah salah satu pemohon dalam rentetan lima perkara uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.
Sekalipun gugatan Emil dkk ditolak, yaitu perkara nomor 55/PUU-XXI/2023, perubahan arah angin putusan MK di perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibilang "membatalkan" yang telah ditolak di perkara yang diajukan Emil dkk.
Menjadi menarik pula, perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 dan Nomor 90/PUU-XXI/2023 sejatinya sama-sama membangun argumentasi pengalaman sebagai penyelenggara negara untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, sebagai alternatif batas minimal usia 40 tahun sebagaimana diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 sebelum putusan MK.
Peneliti senior Ipsos Indonesia, Arif Nurul Imam, berpendapat jalan demokrasi makin terjal dengan putusan MK ini. Dissenting opinion Saldi Isra, kata dia, sudah bercerita dan menggambarkan teramat gamblang ancaman yang kini dihadapi demokrasi.
Tak dapat disangkal, kata Arif, publik tetap akan menyoroti kans Gibran melenggang ke kontestasi kepemimpinan nasional berdasarkan putusan MK yang perkaranya ditangani oleh sang paman.
Meskipun, tegas Arif, Gibran sejatinya tak punya cukup daya ungkit elektoral kalaupun benar-benar akan menggunakan putusan MK ini sebagai pintu masuk berkontestasi di Pemilu Presiden 2024.
Belum lagi, Gibran juga akan berhadapan dengan banyak persoalan bila berlaga di Pemilu Presiden 2024 untuk kandidat yang tidak diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Bagaimana pun, kata Arif, Gibran masih menjadi anggota partai itu.
"(Tapi), kalau kemudian benar dengan putusan MK ini Gibran maju (menjadi bakal calon wakil presiden), dinasti politik (Jokowi) terjadi. Itu kan yang dikhawatirkan," ujar Arif, Selasa (17/10/2023).
Dari semua catatan ini, penutup dissenting opinion Saldi Isra makin nyaring terdengar, quo vadis MK?
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.