JAKARTA, KOMPAS.com - Mekanisme pengawasan di antara para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak dijalankan secara efektif, sehingga berakibat muncul kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Padahal menurut mantan Komisioner KPK Saut Situmorang, mekanisme pengawasan di antara pimpinan seharusnya dijalankan secara kolektif kolegial supaya mereka tetap independen dan tidak melanggar aturan.
“Jadi check and balance antarkolektif kolegial kayanya sudah enggak jalan di sana,” kata Saut Situmorang dalam program Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, seperti dikutip pada Senin (9/10/2023).
Di sisi lain, muncul dugaan Ketua KPK Firli Bahuri terlibat dugaan pemerasan itu, meski sudah dibantah. Sedangkan Syahrul disebut-sebut tersangkut dugaan korupsi di Kementerian Pertanian yang tengah diusut KPK.
Baca juga: Kompolnas Sarankan Dugaan Pemerasan Pimpinan KPK ke Syahrul Limpo Ditangani Bareskrim
Foto pertemuan antara Firli dan Syahrul di sebuah tempat yang diperkirakan lapangan bulutangkis kemudian beredar luas di internet. Perkara dugaan pemerasan pimpinan KPK terhadap Syahrul saat ini tengah disidik oleh Polda Metro Jaya.
Menurut Saut, dalam penyidikan dugaan korupsi di Kementerian Pertanian, penyidik KPK kesulitan mendapatkan tandatangan Firli.
Alhasil, surat perintah penyidikan kasus itu diteken oleh komisiner lain di KPK pada 26 September 2023, atau saat Firli Bahuri pergi ke Korea Selatan.
“Kolektif kolegialnya ini gimana? Karena gini, di dalam ekspose di KPK, itu untungnya KPK itu di sana ada jaksa. Jaksa itu sudah ngebayang ini, gue tuntut pakai pasal berapa orang ini,” kata Saut.
Baca juga: Dewas KPK Kumpulkan Keterangan soal Pertemuan Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo
Di sisi lain, pengendalian diri dan sikap waspada supaya pimpinan KPK tidak melanggar etik atau bertemu pihak-pihak berperkara juga sudah diatur.
Saut mencontohkan pada masa kepemimpinannya, setiap pimpinan KPK selalu berkabar kepada sejawat pimpinan saat berkegiatan di luar untuk mengurangi risiko itu. Sebab berdasarkan riset, kata Saut, pimpinan KPK mempunyai ratusan risiko.
“Dulu kalau kita mau pergi gitu, 'eh nanti sore kita mau badminton nih, di mana,' itu memberitahu yang lain, setelah insiden ketemu siapa tadi, karena itu mengurangi risiko,” ujar Saut.
Selain itu, kata Saut, pimpinan KPK juga wajib menaati aturan etik guna meminimalisir risiko-risiko yang muncul dan mengganggu kemandirian lembaga itu.
Baca juga: Firli Bahuri Sebut Bertemu Syahrul Yasin Limpo Saat KPK Belum Selidiki Kasus di Kementan
Saut mencontohkan, kode etik itu diterapkan ketika seorang pimpinan KPK hendak bersantap di sebuah restoran, atau masuk elevator dan bertemu dengan seseorang, sampai tata cara berfoto bersama siapapun.
“Itu semua diatur. Foto saja harus begini, enggak boleh tangannya gimana, itu sampai detail-detail itu dibuat. Jadi maksud saya kalau detail-detail itu diikuti, termasuk detail-detail kolektif kolegial, mereka akan check and balance satu sama lain,” ujar Saut.
Polda Metro Jaya saat ini menangani kasus dugaan pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK terhadap Syahrul.