Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Menguji Jalan Sejarah PKS Dukung Anies-Muhaimin

Kompas.com - 16/09/2023, 08:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tidak mudah untuk berubah haluan politik, misalnya PKS harus menyeberang ke koalisi pendukung Ganjar Pranowo atau bersatu dengan koalisi pendukung Prabowo Subianto mengingat ada “sempalan” PKS yang kini bernama Partai Gelora telah bergabung duluan di Koalisi Indonesia Maju bersama Gerindra, Golkar, PAN, serta Partai Bulan Bintang.

PKS tidak sekadar berharap mendapat berkah efek ekor jas dari Anies Baswedan – walau dalam berbagai survei ternyata nama Anies tidak memberi “keuntungan” efek ekor jas bagi PKS. Setidaknya, PKS berharap meraih peningkatan suara atau lebih realitis mempertahankan jumlah kursi yang diraihnya pada Pemilu 2019 lalu.

Berbeda dengan Demokrat yang memutuskan keluar dari Koalisi Perubahan dan kini tengah menjajaki kerja sama dengan koalisi-koalisi lain, PKS harus bergerak cepat menentukan diri.

PKS “terpaksa” menerima PKB dan menyepakati nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres karena sudah tidak ada pilihan lain yang tersedia.

PKS menutup pintu kemungkinan terbentuknya koalisi ke empat, yakni poros PKS – Demokrat dan PPP mengingat PPP tetap memilih PDIP sebagai mitra koalisi.

Sekali lagi, politik di Indonesia mengukuhkan kembali model pragmatisme politik dibanding mempertahankan kemurnian ideologinya masing-masing.

Awalnya, PKS adalah partai Islamis yang memiliki tingkat kejelasan ideologi partai yang paling tinggi dibandingkan dengan partai politik lainnya. PKS yang awalnya bernama Partai Keadilan pada Pemilu 1999 bertransformasi menjadi PKS sejak April 2002.

Partai Keadilan yang memulai debutnya pada Pemilu 1999 bisa meraih 1,43 juta suara atau 1,36 persen dari total suara sah nasional.

Kemudian pada Pemilu 2004, PKS mampu mendulang 8,33 juta suara atau 7,34 persen, Pemilu 2009 meraih 8,23 juta suara atau 7,89 persen, dan pada Pemilu 2014 memperoleh 8,46 juta suara atau setara 6,77 persen.

Pencapaian tertinggi PKS diraih pada Pemilu 2019, dengan perolehan sebanyak 11,49 juta suara atau ekivalen dengan 8,21 persen. Jumlah tersebut melonjak sebanyak 3,04 juta suara atau naik sekitar 36 persen dari perolehan pemilu sebelumnya.

Dengan kenaikan jumlah suara tersebut, PKS mampu menempatkan 50 orang wakilnya di DPR. Jumlah tersebut porsinya mencapai 8,7 persen dari total kursi DPR periode 2019-2024.

PKS yang dikenal menonjol dalam laku politik, nyatanya dalam tiga kali gelaran Pemilu di 2009, 2014 dan 2019 mulai membuka diri dalam rangka memperluas dukungan elektoral.

Hal ini tidak lepas dari beban elektoral PKS yang sejak awal didirikan mengandalkan kekuatan kader militan dan simpatisan yang berasal dari kalangan Islamis maupun kader sebagai konsekuensi ideologi dari partai yang berasaskan Islam (Muhtadi, 2012).

PKS sadar diri dengan ideologi yang dianutnya mengingat pemilih dari kalangan Islam tidak serta merta mengidentifikasikan diri mereka hanya kepada PKS sebagai representasi aspirasi umat Islam.

Tentu kondisi tersebut membuat PKS mengalami dilema, apakah tetap konsisten mempertahankan ideologi partai eksklusif atau ingin menambah raihan suara dalam kontestasi Pemilu. Inilah yang mendasari PKS pada 2009 mulai melakukan strategi inklusi-moderasi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com