Said menambahkan, sebanyak 39,1 persen penduduk Indonesia yang bekerja merupakan lulusan sekolah dasar (SD). Lulusan sekolah menengah pertama (SMP) yang bekerja memiliki persentase sebesar 18,24 persen.
Kondisi tersebut, sambungnya, memiliki arti bahwa sebanyak 57,34 persen penduduk Indonesia yang bekerja merupakan lulusan SMP ke bawah.
Baca juga: Hadapi 2024, Banggar DPR Minta Kementerian Koordinator Konsolidasi Jalankan 8 Kebijakan Jokowi
"Tak ada artinya momentum bonus demografi yang kita dapatkan sejak 2012 jika tidak mendapatkan mayoritas tenaga kerja terampil yang mampu mengakselerasi inovasi bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan industri. Padahal sumbangan UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 60,5 persen," paparnya.
Masukan selanjutnya adalah alokasi infrastruktur pada APBN 2024 sebesar Rp 422,7 triliun yang diajukan pemerintah. Angka ini memakan porsi sebesar 12,79 persen dari total anggaran belanja negara.
Menurut Said, alokasi belanja infrastruktur selain harus bisa memastikan keberlangsungan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), juga harus bisa meningkatkan partisipasi sekolah dan angka harapan hidup masyarakat.
"Pembangunan infrastruktur harus lebih fokus pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi, bukan malah jadi beban ekonomi. Pemerintah harus fokus pada target pada cetak biru kebijakan logistik nasional," tuturnya.
Hal tersebut penting dilakukan karena merujuk target rasio biaya logistik dengan PDB sebesar 12,4 persen pada 2025. Target ini cukup realistis mengingat AS memiliki nilai rasio 8 persen dan Korea Selatan (Korsel) sebesar 9,7 persen.
Usulan selanjutnya adalah mengenai dukungan kebijakan hilirisasi. Pemerintah dinilai perlu menghadapi sejumlah kebijakan penting.
Pertama, sejak kebijakan hilirisasi semakin masif, Indonesia berada pada keadaan yang bisa menimbulkan perang dagang dengan Uni Eropa. Fenomena ini bisa berujung perang gugatan di World Trade Organization (WTO).
Skenario terburuknya adalah Indonesia dan Uni Eropa akan saling mengeluarkan kebijakan retaliation yang berpotensi mengganggu pasar ekspor Indonesia.
Baca juga: APBN Surplus Rp 234,7 Triliun, Ketua Banggar DPR Apresiasi Kinerja Pemerintah
"Pemerintah harus bisa memaksimalkan ruang pada Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA)," tutur Said.
Kedua, kebijakan hilirisasi seharusnya tidak hanya ditujukan untuk memberikan nilai tambah ekonomi semata. Karenanya, strategeic partnership hilirisasi harus mengangkat derajat UMKM sebagai bagian dari rantai produksi.
"(Kebijakan hilirisasi) juga harus membangkitkan industri nasional dan memberikan ras adil bagi masyarakat lokal serta menjaga kelestarian alam. Arsitektural kebijakan ini belumlah tampak dijalankan oleh pemerintah," jelasnya.
Said turut mengingatkan pemerintah untuk waspada akan tiga raksasa ekonomi dunia, yakni China, Jepang dan AS, meski Bank Dunia memprediksi bahwa perekonomian tiga negara ini masih akan melambat.
Baca juga: Ketua Banggar DPR RI Berikan 5 Catatan untuk Calon Gubernur BI
"Ketiga (negara) adalah mitra dagang strategis Indonesia. Perlambatan ekonomi China berpangkal dari persoalan keuangan pada sektor real estate, sejak kasus Evergrande mencuat. Sementara perlambatan ekonomi AS imbas dari tingginya suku bunga membuat tingkat konsumsi dan investasi melambat," paparnya.