JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu korban eksil 1965, Siswartono Sarodjo, mempertanyakan bagaimana pemerintah Indonesia mengatasi stigma negatif terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu seperti dirinya.
Korban eksil 1965 kebanyakan merupakan Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) yang dikirim pemerintahan Soekarno untuk sekolah di luar negeri. Mereka tidak bisa pulang setelah Soeharto berkuasa.
Sis, panggilan akrab Siswartono, menyebut, selama 30 tahun masyarakat Indonesia didoktrin setiap hari bahwa para Mahid melawan pemerintah dan belajar di negara komunis.
“Harapan saya ada suatu upaya dari pemerintah yang kontinu dan terus menerus mengadakan sosialisasi supaya ini berubah,” ujar Sis, panggilan akrab Siswartono dalam pertemuan di Praha, Republik Ceko, Senin (28/8/2023) waktu setempat yang disiarkan secara virtual.
Dalam pertemuan itu, hadir Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly.
Pemerintah Indonesia, melalui Mahfud dan Yasonna berupaya memulihkan hak konstitusional para korban eksil 1965.
Salah satunya adalah dengan memberikan layanan keimigrasian khusus hingga bantuan alih status kewarganegaraan kepada para eksil yang ingin kembali, meninggal, dan dimakamkan di tanah air.
Di depan Mahfud, Yasonna, dan eksil 1965 lain di Praha Sis mengungkapkan, stigma negatif terhadap dirinya masih ada.
“Saya mengatakan ini karena saya merasa di keluarga saya pun ada,” ujar Sis.
Sis menceritakan, pada satu waktu ia bertanya kepada saudara kandung dari bapak dan ibunya mengenai bagaimana jika ia dikubur di Indonesia.
Mendengar pertanyaan itu, saudaranya hanya diam. Kemudian, keluarga istri kakaknya, yang berpangkat jenderal menjawab dengan enteng.
Namun, jawaban itu sekaligus memuat stigma buruk terhadap Sis yang pernah dicap melawan negara.
“Dia jawab, ‘lho mas, di Eropa kan biasa kremasi itu. Tabur saja di laut nanti kan sampai ke indonesia.’ Itu jawaban mereka,” ujar Sis kecut.
Menurut Sis, persoalan stigma itu merupakan problem generasi yang tidak bisa tuntas dalam waktu singkat.
Baca juga: Yasonna Sebut Lima Korban Eksil 1965 Sudah Dapat Fasilitas Keimigrasian
Ia berharap terdapat kejelasan terkait persoalan sosial masyarakat ini karena menyangkut keturunan para korban eksil 1965.