Tafsir liar semacam itu tentu saja merugikan PDIP-Ganjar. Namun, apakah klarifikasi presiden cukup untuk menghentikannya? Saya kira, tidak.
Isu keretakan Teuku Umar dan Istana akan terus didengung-dengungkan, karena ada pihak yang berkepentingan.
Hal ini terkait dengan suara pendukung Jokowi dan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi yang tinggi (74,3 persen menurut hasil survei Kompas pada awal Agustus 2023).
Dua hal itu tentu saja diperebutkan. PDIP-Ganjar mestinya akan lebih diuntungkan. Namun, karena Prabowo dan Partai Gerindra merupakan parpol koalisi pemerintahan, ia berkesempatan pula menikmati tuah Jokowi yang dulu lawan politiknya.
Hasil survei Litbang Kompas pada awal Agustus, menunjukkan suara pendukung Jokowi pada Pemilu 2019 memang cenderung mengalir ke Ganjar.
Ia masih mendapatkan aliran suara terbesar dari pemilih Jokowi, yakni 63,6 persen. Angka itu bila Ganjar hanya berhadapan dengan Prabowo.
Namun, survei juga mengungkap suara pemilih Jokowi yang mengalir ke Prabowo semakin besar. Ada 36,4 persen pemilih Jokowi yang memilih Prabowo. Naik dibandingkan pada Januari 2023 yang hanya 27,7 persen, dan 33,9 persen pada Mei 2023. Rata-rata naik 4-5 persen per empat bulan. Tentu bukan angka kecil.
Saya menduga kecenderungan pemilih Jokowi yang mengalir ke Prabowo akan semakin besar tatkala tafsir dan kesan “Teuku Umar dan Istana retak” tak berubah.
Karena itu, hasil survei Kompas adalah peringatan dini bagi PDIP-Ganjar. Elite PDIP-Ganjar harus peka dan kritis terhadap produksi wacana yang -- dalam bahasa Puan Maharani -- “mempertentangkan Megawati dan Presiden Jokowi” (Kompas.id, 26/08/2023).
Di mata saya, Megawati dan Jokowi adalah tokoh persatuan yang selalu berorientasi pada kerukunan (harmoni). Kebetulan keduanya adalah orang Jawa yang -- menurut saya, sangat “nJawani”.
Kosmologi Jawa tentu berpengaruh terhadap cara berpikir, berperasaan, dan bertindak, termasuk dalam urusan bernegara.
Inti kosmologi Jawa terletak pada prinsip keteraturan/keselarasan (harmoni). Segala bentuk gejala alamiah dan akibat dari tindakan manusia tidak dihayati sebagai kejadian yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari totalitas yang dikoordinasikan oleh kekuatan adikodrati, suatu kekuatan yang berhubungan dengan “penyebab tunggal”.
Secara simbolis, koordinasi itu dipahami sebagai hubungan harmonis antara jagad gedhe (tata kosmos) dan jagad cilik (manusia).
Di panggung perpolitikan nasional, Megawati dan Jokowi bukanlah tokoh instan. Megawati teruji ketokohannya di dua zaman berbeda, yakni Orde Baru dan Reformasi.
Ia berhasil melampaui dua zaman itu dengan penuh tantangan, lalu mengantarkan Jokowi memenangi kontestasi politik wali kota Solo, gubernur DKI, dan dua kali presiden.