INTI Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tak lain adalah pemulihan harkat martabat manusia. Di mana pun ada pengingkaran terhadap harkat martabat manusia, di sana pula akan muncul perlawanan dan perjuangan untuk memulihkannya.
Kata Bung Karno, sang proklamator, proklamasi kemerdekaan bagaikan “jembatan emas”. Di seberang jembatan itulah dibangun kehidupan yang memuliakan harkat martabat manusia Indonesia.
Saya melihatnya sebagai “politik gagasan”, politik pemuliaan masa depan manusia Indonesia secara bersama. Politik sebagai jalan menuju kemaslahatan bersama.
Kemerdekaan bangsa Indonesia tak akan pernah diraih dan bertahan bila rakyat dan para pemimpinnya waktu itu menyerah pada akal-akalan penguasa kolonial.
Kemerdekaan hanya akan menjadi mimpi belaka bila rakyat dan para pemimpinnya mau dihargai sebatas “kenikmatan sesaat secara personal”, atau secara sederhana disebut “politik uang”.
Rakyat dan para pemimpinnya melawan politik uang, melawan transaksi politik yang tak menghargai harkat manusia. Melawan arogansi elite penguasa yang tak mau tahu bahwa “orang lain” (the others) juga punya mimpi dan harapan masa depan.
Karena itu, proklamasi kemerdekaan yang diteken Soekarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia dan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, tak lain adalah manifesto politik gagasan.
Peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-78 bertepatan dengan tahun politik menjelang Pemilu 2024. Merdeka dari politik uang, saya kira, perlu menjadi perhatian serius kita bersama.
Meski hanya beberapa menit di bilik suara, saat itu sejatinya kita menandatangani kontrak dengan para calon pemimpin politik, orang-orang yang kelak membuat dan memutuskan kebijakan.
Apa yang kita kontrakkan? Tak lain masa depan kita! Maka sangat tidak masuk akal bila masa depan itu hanya dikontrakkan senilai satu paket sembako, atau selembar dua lembar uang kertas warna merah bergambar proklamator.
Politik uang bukan omong kosong. Diakui sendiri oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar bahwa politik uang masih terjadi sampai saat ini. Bahkan, ia menyebut biaya hingga Rp 40 miliar untuk menjadi anggota legislatif dari Jakarta.
“Politik uang, yang kaya yang berkuasa, yang menang yang punya duit, itu terbukti di lapangan dengan baik,” ujar Muhaimin pada acara Pidato Kebudayaan di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta, (Kompas.com, 12/08/2023).
Tinggalkan politik uang, muliakan politik gagasan. Kembalikan politik sebagai jalan menuju kemaslahatan umum.
Politik uang bukan hanya menistakan derajat kemanusiaan, melainkan juga potensial membuat negara tersandera oleh kepentingan kelompok kecil semata.
Bukan hanya berujung pada korupsi yang makin menggila, melainkan juga membuat negara hanya mengurus kepentingan elite semata.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.