JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pola transaksi janggal terindikasi pada masa pemilu. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, transaksi tersebut ada yang berkaitan dengan politik uang, ada pula yang diduga berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang.
Hasil analisis PPATK menyebutkan, transaksi keuangan selama masa pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu tinggi. Namun, ada pola-pola transaksi tidak wajar.
Misalnya, memecah-mecah transaksi (structuring) sumbangan dana pemilu melalui rekening joint account peserta pemilu, penerimaan dana sumbangan pemilu melalui pihak ketiga, penampungan dana operasional pemilu ke rekening pribadi penyelenggara atau pengawas pemilu, dan lainnya. Berikut di antaranya.
Salah satu temuan PPATK menyebutkan bahwa marak terjadi penukaran uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 di bank selama masa tenang pemilu atau satu hingga tiga hari jelang pemungutan suara.
Baca juga: Bahasa Kampanye Pemilu di Ruang Publik
PPATK menduga, masifnya aktivitas tersebut merupakan bagian dari politik uang pemilu.
“Di minggu tenang ada penukaran Rp 113 miliar uang Rp 50.000-an dan Rp 100.000-an hanya dari satu calon,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam Forum Diskusi Sentra Gakkumdu yang ditayangkan YouTube Kemenko Polhukam, Selasa (8/8/2023).
Temuan tersebut merupakan hasil penelusuran berdasarkan sampel 320 rekening khusus dana kampanye (RKDK) yang melibatkan 1.022 peserta pemilu.
Temuan lainnya, Ivan mengungkap, transaksi terkait pemilu justru melonjak pada masa tenang atau satu hingga tiga hari sebelum pemungutan suara.
Sebaliknya, menurut RKDK peserta pemilu, transaksi yang tercatat selama masa kampanye justru lebih rendah dibandingkan dengan masa tenang.
“Kalau transaksinya banyak di masa kampanye oke, untuk biaya kampanye, sewa gedung, beli makan, beli kaus, bayar macam-macam itu di masa kampanye. Tapi kenapa RKDK ini banyak bergeraknya di minggu tenang?” kata Ivan.
Terjadi anomali bahwa ketika aktivitas kampanye sedang tinggi, transaksi keuangan terkait pemilu yang terekam dalam RKDK malah cenderung statis.
“Kampanye tampak tidak didanai dari RKDK. Aktivitas meningkat namun transaksi cenderung statis. Menyewa gedung (untuk kampanye) katanya di gedung-gedung ini sering, tapi begitu kita cek RKDK flat,” ungkap Ivan.
Atas temuan tersebut, PPATK menduga, aktivitas kampanye para peserta pemilu didanai oleh sumber-sumber yang tak tercatat.
Sumber dana itu bisa jadi berasal dari pihak yang melakukan aktivitas ilegal, seperti pelaku illegal logging, pelaku illegal mining, bahkan bandar narkotika.
Menurut Ivan, situasi ini terjadi karena aturan pemilu tak melarang aktivitas kampanye didanai dari sumber lain di luar RKDK.
“Saya kalau mau mencalonkan (di pemilu) wajib punya RKDK, tapi untuk membiayai kegiatan kampanye saya tidak wajib mengambill dari situ,” kata Ivan.
“Jadi orang mau nyumbang pakai apa-apa silahkan saja, fatalnya kan di situ. Hasil narkoba masuk silakan saja, nanti dia pakai macam-macam silakan saja,” tutur dia.
Ivan bahkan mengungkap, ada dugaan uang hasil kejahatan lingkungan sebesar Rp 1 triliun yang mengalir ke partai politik. Dana tersebut diduga untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Lalu salah satu hasil temuan PPATK yang sudah ditemukan beberapa waktu yang lalu, ada uang Rp 1 triliun, uang kejahatan lingkungan, yang masuk ke parpol, itu kurang lebih ya,” kata dia.
Temuan itu, kata Ivan, telah disampaikan PPATK kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Baca juga: Mahfud Ungkap Politik Uang Saat Pemilu: Ada yang Borongan dan Eceran
Selain itu, menurut PPATK, ada potensi dana kampanye pemilu bersumber dari tindak pidana atau aktivitas ilegal. Sedikitnya, 11 provinsi di Indonesia memiliki risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dengan dana hasil ilegal,” ungkap Ivan.
"Artinya memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik itu," jelasnya.
Dari sebelas provinsi tersebut, DKI Jakarta mencatatkan rata-rata risiko tertinggi yakni 8,95. Selanjutnya, Jawa Timur dengan rata-rata risiko 8,81.
Kemudian secara berturut-turut ada Jawa Barat (7,63), Jawa Tengah (6,51), Sulawesi Selatan (5,76), Sumatera Utara (5,67), Sumatera Barat (5,67), Sumatera Selatan (5,46), Papua (5,43), Bali (5,35), dan Bengkulu (5,04).
Baca juga: Bawaslu Akan Terbitkan Indeks Wilayah Rawan Politik Uang Jelang Pemilu 2024
Ivan mengatakan, meski DKI Jakarta menjadi provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang, indikasi ini lebih mudah terdeteksi.
“Kalau Jakarta karena sistemnya sudah bagus, dia lebih cenderung mudah diketahui. Berbeda dengan Jawa Timur,” katanya.
Atas temuan-temuan ini, Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang merupakan unsur gabungan dari Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan, diharapkan bisa meningkatkan pengawasan. Lebih lanjut, menindak tegas pelaku tindak pidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.