Menurut Ivan, situasi ini terjadi karena aturan pemilu tak melarang aktivitas kampanye didanai dari sumber lain di luar RKDK.
“Saya kalau mau mencalonkan (di pemilu) wajib punya RKDK, tapi untuk membiayai kegiatan kampanye saya tidak wajib mengambill dari situ,” kata Ivan.
“Jadi orang mau nyumbang pakai apa-apa silahkan saja, fatalnya kan di situ. Hasil narkoba masuk silakan saja, nanti dia pakai macam-macam silakan saja,” tutur dia.
Ivan bahkan mengungkap, ada dugaan uang hasil kejahatan lingkungan sebesar Rp 1 triliun yang mengalir ke partai politik. Dana tersebut diduga untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Lalu salah satu hasil temuan PPATK yang sudah ditemukan beberapa waktu yang lalu, ada uang Rp 1 triliun, uang kejahatan lingkungan, yang masuk ke parpol, itu kurang lebih ya,” kata dia.
Temuan itu, kata Ivan, telah disampaikan PPATK kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Baca juga: Mahfud Ungkap Politik Uang Saat Pemilu: Ada yang Borongan dan Eceran
Selain itu, menurut PPATK, ada potensi dana kampanye pemilu bersumber dari tindak pidana atau aktivitas ilegal. Sedikitnya, 11 provinsi di Indonesia memiliki risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dengan dana hasil ilegal,” ungkap Ivan.
"Artinya memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik itu," jelasnya.
Dari sebelas provinsi tersebut, DKI Jakarta mencatatkan rata-rata risiko tertinggi yakni 8,95. Selanjutnya, Jawa Timur dengan rata-rata risiko 8,81.
Kemudian secara berturut-turut ada Jawa Barat (7,63), Jawa Tengah (6,51), Sulawesi Selatan (5,76), Sumatera Utara (5,67), Sumatera Barat (5,67), Sumatera Selatan (5,46), Papua (5,43), Bali (5,35), dan Bengkulu (5,04).
Baca juga: Bawaslu Akan Terbitkan Indeks Wilayah Rawan Politik Uang Jelang Pemilu 2024
Ivan mengatakan, meski DKI Jakarta menjadi provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang, indikasi ini lebih mudah terdeteksi.
“Kalau Jakarta karena sistemnya sudah bagus, dia lebih cenderung mudah diketahui. Berbeda dengan Jawa Timur,” katanya.
Atas temuan-temuan ini, Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang merupakan unsur gabungan dari Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan, diharapkan bisa meningkatkan pengawasan. Lebih lanjut, menindak tegas pelaku tindak pidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.