Soebardjo lantas mendiktekan kalimat pertama dalam Pembukaan UUD tersebut, sedangkan Soekarno menulisnya. Selesai menulis, Soekarno yang ketika itu duduk di hadapan Soebardjo membacanya keras-keras.
Hatta yang juga menyimak kalimat yang dibacakan Soekarno langsung memberikan tanggapan. Katanya, kalimat itu belum cukup untuk menyatakan kemerdekaan.
“Ini tidak cukup, ini pernyataan abstrak tanpa isi. Kita harus merealisasikan dengan konkrit kemerdekaan kita, dan itu tidak dapat kita lakukan tanpa kekuasaan di tangan kita,” ucap Hatta.
“Kita harus menambahnya dengan ide pemindahan kekuasaan dari Jepang ke tangan kita,” lanjutnya.
Berangkat dari pendapat Hatta tersebut, ketiganya berdiskusi soal rumusan kalimat untuk menuangkan ide “gagasan pemindahan kekuasaan”. Inilah sebabnya dalam naskah tulisan tangan Prokamasi terdapat coretan-coretan.
Akhirnya, disepakati kalimat “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Setelah teks Prokalamasi dibacakan Soekarno di rumah Laksamana Maeda, muncul pertanyaan, siapa yang harus menandatangani naskah tersebut.
Perwakilan kalangan muda, Sukarni, yang kala itu berdiri di samping Soebardjo berbisik, “Bung, apa secarik kertas dari teman-teman di Jalan Bogor Lama sudah diberikan kepada Bung Karno?”.
Secarik kertas yang dimaksud Sukarni itu punya kisah sendiri. Saat itu, sekitar pukul 1 dini hari tanggal 17 Agustus 1945, Sukarni mengajak Soebardjo meninggalkan rumah Laksamana Maeda untuk sesaat.
Soebarjdo diajak Sukarni untuk bertemu sejumlah orang di sebuah rumah di kawasan Manggarai yang tak jauh dari kediaman Laksamana Maeda di Menteng. Di rumah tersebut rupanya telah berkumpul Adam Malik, Djawoto, Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, dan Maruto Darusman.
Suasana kala itu terasa tegang. Para kelompok muda terkejut mengetahui Sukarni mengajak Soebardjo ke rumah tersebut.
Baca juga: Mengenal Engkong Usman, Pejuang Kemerdekaan Asal Bekasi yang Kini Berusia Lebih dari Seabad
Tak lama, salah seorang dari mereka memberikan secarik kertas ke Sukarni, yang lantas diserahkan Sukarni ke Soebardjo.
Kepada Subardjo, Sukarni berbisik bahwa jika naskah Proklamasi ditandatangani, jangan melupakan nama-nama yang tertulis dalam secarik kertas tersebut.
“Langsung saya masukkan kertas itu ke dalam kantong tanpa membaca sedikit pun yang tertulis karena kita tergesa-gesa. Gagasan saya saat itu sedang terpusat pada apa yang kiranya terjadi di rumah Maeda,” tutur Soebardjo.
Secarik kertas itulah yang dimaksud oleh Sukarni ketika ia berbisik ke Soebardjo untuk menyerahkannya ke Soekarno.