Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER NASIONAL] Anas Singgung "Pidato Jeddah" SBY | IDI Bantah Persulit SIP

Kompas.com - 16/07/2023, 07:26 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum menyinggung Ketua Majelis Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terkait konflik politik di antara keduanya pada masa lalu.

Anas menyampaikan pesan kepada para kader PKN supaya tidak berbuat zalim dan menyalahgunakan kekuasaan jika terpilih menjadi pemimpin.

Sementara itu dari polemik Undang-Undang Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah isu mereka mempersulit penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) dokter.

Isu tentang sulitnya penerbitan SIP ditengarai berdampak kepada regenerasi yang lesu dan berakibat pada minimnya rasio ketersediaan dokter dalam negeri.

Baca juga: Jadi Ketum PKN, Anas Urbaningrum Singgung Partai Bukan Kepunyaan Keluarga

1. Anas Urbaningrum Singgung Pidato Jeddah SBY sebagai "Ekspresi Kezaliman" di Depan Kader PKN

Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum, menyindir mantan petingginya di Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa PKN di hadapan para kadernya, Sabtu (15/7/2023).

Mulanya, Anas berpesan kepada para kader PKN agar menjauhi sifat zalim seandainya terpilih menjadi pemimpin serta tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki.

"Tidak boleh menggunakan dan memperalat kekuasaannya dan kewenangannya untuk mencelakai pihak lain, untuk menindas pihak lain, menyingkirkan pihak lain, mempersekusi pihak lain," kata Anas di Hotel Sahid Jaya, Sabtu malam.

"Fungsi kekuasaan bukan itu, tapi menggerakkan energi untuk kebaikan," lanjutnya.

Baca juga: Anas Urbaningrum Anggap Zalim Putusan yang Cabut Hak Politiknya

Ia kemudian menunjuk beberapa petinggi partainya, seperti Gede Pasek Suardika hingga Sri Mulyono, sebagai orang-orang yang kemungkinan menjadi pemimpin kelak.

"Jika dipercaya menjadi pemimpin, saya berharap jangan pernah pidato dari Jeddah," ungkap Anas.

"Itu misalnya. Karena itu bukan pidato tapi ekspresi kezaliman. Itu contoh, contoh," ujarnya disambut riuh sorak-sorai kader PKN.

Pidato dari Jeddah ini merujuk pada pidato SBY yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Pada 4 Januari 2013, ia mengatakan, setelah kunjungan kenegaraan ia akan melakukan ibadah umrah. Doa khusus akan dipanjatkan, meminta petunjuk terkait kisruh Partai Demokrat yang menyeret nama Anas cs.

Baca juga: Anas Urbaningrum Anggap Zalim Putusan yang Cabut Hak Politiknya

"Saya akan memohon petunjuk Allah agar saya dituntun mengambil keputusan yang baik. Menyelamatkan Partai Demokrat tentu solusi yang akan saya pilih. Nanti tentu benar-benar rasional. Semua itu bisa terlaksana setelah mendapat ridho dari Allah," ujar Yudhoyono di Jeddah, Senin (4/1/2013).

SBY berjanji akan segera memberikan keputusan. Yudhoyono menambahkan, yang dibutuhkan Partai Demokrat saat ini adalah solusi dan menemukan faktor-faktor yang menyebabkan merosotnya dukungan partai menjadi 8 persen.

Selain itu, Presiden juga memohon kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menyelesaikan kasus korupsi secara konklusif.

"Apa yang dilakukan oleh sejumlah kader Demokrat itu, kalau salah ya kami terima memang salah. Kalau tidak salah maka kami juga ingin tahu kalau itu tidak salah," kata dia.

"Termasuk Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbanigrum, yang juga diperiksa dan dicitrakan publik secara luas di tanah air sebagai bersalah atau terlibat dalam korupsi," tambahnya.

Baca juga: Anas Urbaningrum Singgung Pidato Jeddah SBY sebagai Ekspresi Kezaliman di Depan Kader PKN

Dalam pidato di Hotel Sahid Jaya, Anas melanjutkan, pemimpin harus adil dan tidak boleh "ngamukan dari belakang" setelah kompetisi perebutan kekuasaan yang keras atau bahkan kasar.

Pemimpin, menurutnya, tidak bisa menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi hasil kompetisi yang tak menguntungkan dirinya dan kelompoknya, tetapi harus menunggu pertarungan berikutnya digelar.

"Jangan misalnya bisik-bisik kepada aparat hukum di daerah, 'tolong dong itu', misalnya. Contoh, contoh," sebut Anas lagi-lagi diiringi tepuk tangan meriah para kader PKN.

Sebagaimana diketahui, Anas merupakan politisi yang sebelumnya tersangkut korupsi proyek Hambalang.

Keterlibatan Anas dalam kasus tersebut diungkap oleh Nazaruddin saat menjadi bendahara Partai Demokrat.

Baca juga: Soal Silaturahmi dengan SBY, Begini Kata Anas Urbaningrum

Bahkan, Anas pernah menyatakan siap digantung di Monas apabila terbukti terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang.

"Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2012).

Kemudian ketika namanya semakin santer dikaitkan dengan kasus Hambalang, Anas mengingatkan KPK tidak perlu repot-repot mengurusi.

Ia menganggap pernyataan Nazaruddin yang pertama kali menyebut Anas terlibat dalam kasus itu sebagai ocehan dan karangan semata.

"Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot," ujarnya.

Baca juga: Anas Urbaningrum Sampaikan Pidato Politik di Monas, Singgung Soal Keadilan

Dari "nyanyian" Nazaruddin, KPK pun melakukan penyelidikan. Anas lantas ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2013.

Anas ditahan pada Januari 2014. Sebulan setelahnya tepatnya 23 Februari 2014, dia menyatakan mundur dari ketua umum sekaligus kader Demokrat.

Vonis terhadap Anas dijatuhkan pada September 2014. Saat itu, Majelis Halim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.

Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.

Namun, vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang meminta dia dihukum 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp 94 miliar serta 5,2 juta dollar AS.

Baca juga: Anas Urbaningrum Resmi Diangkat Jadi Ketua Umum PKN

Tak terima atas vonisnya, Anas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan memangkas hukuman Anas 1 tahun menjadi 7 tahun penjara. Namun, Anas tetap didenda Rp 300 juta.

Kendati dijatuhi hukuman yang lebih ringan, Anas masih tak puas. Dia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada Juni 2015, MA menyatakan menolak permohonan Anas.

Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar kala itu justru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara ke Anas.

Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut juga diharuskan membayar denda Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.

Selain itu, Anas diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara. Namun, lima tahun berselang, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Anas.

Baca juga: PKN Gelar Munaslub: Anas Urbaningrum Jadi Ketum dan Bakal Orasi Politik di Monas

Pada September 2020, majelis hakim PK yang dipimpin Sunarto menyunat hukuman Anas 6 tahun.

Dengan demikian, hukuman Anas berkurang drastis menjadi 8 tahun penjara. Namun begitu, Anas tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 57,9 miliar dan 5.261.070 dollar AS.

Selain itu, majelis hakim PK tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok.

Setelah menjalani masa hukuman, Anas akhirnya bebas murni pada Senin (10/7/2023). Status bebas murni Anas diumumkan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, Jawa Barat.

Baca juga: Bakal Orasi di Monas, Anas Mau Sampaikan Pembelaan soal Kasus Korupsi Hambalang

 

2. IDI Bantah Persulit Rekomendasi SIP untuk Dokter

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membantah pihaknya mempersulit terbitnya Surat Izin Praktik (SIP) dokter, yang membuat lesu produksi dokter dan berakibat pada minimnya rasio ketersediaan dokter dalam negeri.

Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Adib Khumaidi, menegaskan, jika ditemukan kejadian seperti itu di lapangan, maka hal itu tindakan individual.

"Itu problem oknum. Kalau dikatakan ada atau tidak rekomendasi yang dipersulit, banyak itu nominal, berapa jumlahnya?" ujar Adib dalam program ROSI di Kompas TV bertajuk "UU Kesehatan Sah, Selamat Tinggal IDI", dikutip Jumat (14/7/2023) malam.

Isu ini mencuat selama penyusunan Rancangan Undang-undang Kesehatan (kini telah disahkan menjadi undang-undang) yang ditolak keras IDI.

Baca juga: IDI Akui Sudah Bantu Dokter Diaspora Kembali, Kebanyakan Ngeluh soal Birokrasi

Hegemoni organisasi kesehatan seringkali disebut pemerintah menghambat pertumbuhan dokter spesialis karena mahalnya biaya pengurusan izin praktik.

Padahal, rasio dokter spesialis di Indonesia masih jauh di bawah standar. Rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, lebih rendah dibandingkan dengan median Asia Tenggara, 0,20 per 1.000 penduduk.

Sementara itu, rasio dokter umum 0,62 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, lebih rendah dari standar WHO sebesar 1,0 per 1.000 penduduk.

Adib mengeklaim, ketika pertama kali duduk sebagai orang nomor 1 di organisasi tunggal kedokteran itu, dirinya justru menyelesaikan kasus penghalang-halangan praktik dokter di satu wilayah.

Namun demikian, ia tidak membantah kasus-kasus semacam itu mungkin saja terjadi di lapangan.

Baca juga: IDI Bantah Persulit Rekomendasi SIP untuk Dokter

"Pasti ada oknum, di mana pun, di institusi mana pun," ujar Adib.

"Saya tidak katakan permainan. Karena kalau kita bicara permainan, bicara data, berapa persen yang dipersulit?" imbuh dia.

Ia mengaku berani menjamin bahwa ia dan koleganya siap turun tangan dan menuntaskan masalah seandainya ditemui kasus dokter-dokter dipersulit penerbitan SIP-nya, maupun Surat Tanda Registrasinya (STR).

IDI sebelumnya juga mengklarifikasi pihaknya hanya mengenakan iuran kepada anggota hanya Rp 30.000 per bulan. Selama 5 tahun, iuran yang dibayar oleh anggota mencapai Rp 1,8 juta.

Ada pula iuran perhimpunan dokter yang besarannya berbeda-beda di berbagai perhimpunan. Namun, rata-rata besaran iuran tersebut sekitar Rp 100.000 per bulan.

Baca juga: Soal Calo Pengurusan Izin Praktik Dokter, IDI Sebut Sudah Lakukan Penindakan

Selama lima tahun, iuran perhimpunan yang dibayar oleh dokter mencapai Rp 6 juta.

Kemudian, terdapat pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) elektronik IDI sekitar Rp 30.000. Lalu, biaya rekomendasi praktik yang disepakati Rp 100.000 per 5 tahun untuk satu SIP.

Untuk re-sertifikasi dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebesar Rp 100.000. Biaya-biaya itu diperlukan untuk melakukan aktivitas dan upaya mendukung program pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com