ISTILAH KKN atau korupsi, kolusi, dan nepotisme bergema di atas langit negeri ini ketika gerakan reformasi berlangsung sekitar 1998.
Dalam usaha memberantas budaya KKN, gelombang gerakan reformasi berhasil melengserkan pemimpin orde baru, Suharto. Namun budaya KKN masih beranakpinak atau turun temurun hingga masa generasi milinial.
Kalau meminjam lirik lagu “Bengawan Solo”, maka budaya KKN orde baru bagai “airmu mengalir sampai jauuuuuuh...
KKN lahir dari keserakahan manusia yang sedang berkuasa. Banyak nasihat telah didengungkan, bahwa “kekuasaan itu cenderung korup”.
Namun nasihat ini selalu tertutup oleh kenikmatan berkuasa, “kalau sudah duduk lupa atau tidak ingin berdiri dan pergi”.
Tulisan saya ini, terus terang, hanya merupakan susunan kalimat-kalimat yang saya cuplik atau kutip dari beberapa buku dan artikel di koran atau majalah yang muncul beberapa tahun setelah Suharto lengser.
Semua tulisan yang saya kutip itu berisi nasihat dan peringatan (termasuk ejekan) tentang bahaya “kekuasaan yang cenderung korup”.
Pada Oktober 2014, Sultan Hamengkubuwono X, menulis artikel berjudul “Membangun Jati Diri Bangsa: Dalam Kostelasi Geopolitik Internasional dan Globalisasi”.
Artikel ini dimuat dalam buku berjudul “Jokowi, Catatan & Persepsi” yang digagas oleh Seno Kusumoarjo.
Dalam artikel sepanjang 12 halaman (halaman 120 sampai 132) tersebut terdapat sub judul “Warisan Kultur Orde Baru”.
“Selama orde baru terlihat dengan jelas, bahwa kekuasaan digunakan untuk memupuk kekayaan, dan kekayaan yang diperoleh dari KKN itu digunakan untuk lebih mengkukuhkan kekuasaan kroniisme,” ujar Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Keputusan penting yang menyangkut proyek bernilai ekonomi tinggi diambil di luar kabinet. Timbul gejala memerintah berdasarkan pemberian keistimewaan favoritisme kepada anggota keluarga, kroni dan calon-calon kroni lain untuk membeli kesetiaan. Lambat laun kesetiaan beralih dari kesetiaan pada konstitusi menjadi kesetiaan pada seseorang, keluarga dan kroni,” demikian kata Ngarso Dalem (pada Oktober 2014 ) yang wilayahnya pada akhir Jumat, 30 Juni 2023 lalu, dikunjungi Jokowi dan gempa bumi.Lima tahun setelah gerakan reformasi meneriakan berantas KKN dan Suharto lengser tahun 1998, Gubernur Banten saat itu Ratu Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) ditahan dan dipenjara karena terlibat kasus suap/korupsi (September dan Oktober 2013). Kini mereka sudah bebas.
Berkaitan dengan hal ini, penulis asal Sumenep, Madura, Miqdad Husein, menulis artikel berjudul “Dinasti” yang dimuat dalam buku berjudul “Republik Sengkuni”.
Buku setebal 364 halaman ini diisi dengan artikel tulisan sastrawan Abrari Alzael, Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah dan penulis asal Sumenep Miqdad Husein.
Miqdad memberi beberapa catatan tentang kasus Ratu Atut dan Wawan. Katanya, naluri ekspansi berkuasa adalah watak asli manusia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.