Salin Artikel

Politik Dinasti, Anak (Kakak Adik), Menantu, Istri Muda

Dalam usaha memberantas budaya KKN, gelombang gerakan reformasi berhasil melengserkan pemimpin orde baru, Suharto. Namun budaya KKN masih beranakpinak atau turun temurun hingga masa generasi milinial.

Kalau meminjam lirik lagu “Bengawan Solo”, maka budaya KKN orde baru bagai “airmu mengalir sampai jauuuuuuh...

KKN lahir dari keserakahan manusia yang sedang berkuasa. Banyak nasihat telah didengungkan, bahwa “kekuasaan itu cenderung korup”.

Namun nasihat ini selalu tertutup oleh kenikmatan berkuasa, “kalau sudah duduk lupa atau tidak ingin berdiri dan pergi”.

Tulisan saya ini, terus terang, hanya merupakan susunan kalimat-kalimat yang saya cuplik atau kutip dari beberapa buku dan artikel di koran atau majalah yang muncul beberapa tahun setelah Suharto lengser.

Semua tulisan yang saya kutip itu berisi nasihat dan peringatan (termasuk ejekan) tentang bahaya “kekuasaan yang cenderung korup”.

Sultan HB X

Pada Oktober 2014, Sultan Hamengkubuwono X, menulis artikel berjudul “Membangun Jati Diri Bangsa: Dalam Kostelasi Geopolitik Internasional dan Globalisasi”.

Artikel ini dimuat dalam buku berjudul “Jokowi, Catatan & Persepsi” yang digagas oleh Seno Kusumoarjo.

Dalam artikel sepanjang 12 halaman (halaman 120 sampai 132) tersebut terdapat sub judul “Warisan Kultur Orde Baru”.

“Selama orde baru terlihat dengan jelas, bahwa kekuasaan digunakan untuk memupuk kekayaan, dan kekayaan yang diperoleh dari KKN itu digunakan untuk lebih mengkukuhkan kekuasaan kroniisme,” ujar Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Keputusan penting yang menyangkut proyek bernilai ekonomi tinggi diambil di luar kabinet. Timbul gejala memerintah berdasarkan pemberian keistimewaan favoritisme kepada anggota keluarga, kroni dan calon-calon kroni lain untuk membeli kesetiaan. Lambat laun kesetiaan beralih dari kesetiaan pada konstitusi menjadi kesetiaan pada seseorang, keluarga dan kroni,” demikian kata Ngarso Dalem (pada Oktober 2014 ) yang wilayahnya pada akhir Jumat, 30 Juni 2023 lalu, dikunjungi Jokowi dan gempa bumi.

Lima tahun setelah gerakan reformasi meneriakan berantas KKN dan Suharto lengser tahun 1998, Gubernur Banten saat itu Ratu Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) ditahan dan dipenjara karena terlibat kasus suap/korupsi (September dan Oktober 2013). Kini mereka sudah bebas.

Berkaitan dengan hal ini, penulis asal Sumenep, Madura, Miqdad Husein, menulis artikel berjudul “Dinasti” yang dimuat dalam buku berjudul “Republik Sengkuni”.

Buku setebal 364 halaman ini diisi dengan artikel tulisan sastrawan Abrari Alzael, Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah dan penulis asal Sumenep Miqdad Husein.

Miqdad memberi beberapa catatan tentang kasus Ratu Atut dan Wawan. Katanya, naluri ekspansi berkuasa adalah watak asli manusia.

“Yang lebih parah ketika keinginan berkuasa lebih luas itu demi memuaskan kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya,” ujarnya.

Provinsi Banten (ini tahun 2013) adalah miniatur paling riil tentang politik dinasti yang sudah eksis sejak orde baru. Reformasi yang lebih terasa di permukaan tak mampu menyentuh provinsi ini.

“Bahkan pascareformasi, politik dinasti seperti mendapat pembenaran melalui sistem pemilihan langsung. Padahal praktis, semua pemilihan langsung tak lebih sekadar seremoni yang dipenuhi borok kecurangan dan keculasan politik,” tutur Miqdad.

Penulis artikel “Dinasti” ini juga mencatat, bahwa mekanisme kekuasaan mutlak memerlukan sistem fair, adil serta pengawasan super efektif. Tanpa sistem ini, katanya, peluang munculnya naluri dan ekspresi buas berkuasa manusia berpeluang tumbuh mekar.

“Pada tingkat serius, ketika sistem ini tak berfungsi, akan memekarkan kekuasaan berwujud dinasti. Anak, menantu, paman, ipar dan istri, semua diboyong menempati pos-pos kekuasaan dengan menggunakan berbagai cara yang kadangkala dikesankan sangat demokratis,” tegas Miqdad.

Miqdad juga menyarankan agar rakyat betul-betul dipersiapkan lewat pendidikan atau kecukupan secara ekonomi. Jangan sampai rakyat terkontaminasi virus politik uang, nepotisme, dan otorierianisme.

Jadi, Miqdad menyimpulkan, politik dinasti selalu mekar ketika naluri berkuasa tidak bisa dikendalikan.

Ketika kasus Ratu Atut dan Wawan ramai dibicarakan menjelang akhir 2013, mantan Menteri Penerangan dan mantan Ketua DPR MPR, H Harmoko juga memberi catatan yang dikaitkan dengan para calon legislatif (caleg) untuk pemilihan umum 2014.

Harmoko dalam artikelnya berjudul “Tidak Punya Urat Malu” dimuat dalam buku berjudul “Tantangan Pemerintahan 2014 -2019" menuliskan tentang adanya politik kekerabatan atau politik dinasti dalam daftar caleg yang masuk Komisi Peilihan Umum (KPU).

Harmoko menyebutkan, politik dinasti itu disebut sebagai AMPIBI (anak, menantu, ponakan, ipar, besan dan istri).

Sementara itu, dalam buku berjudul “Sambernyawa Menggugat Indonesia” terbit 2011, penulis Soeryo Soedibyo Mangkuhadiningrat menuliskan tentang nikmat kekuasaan yang selalu membuat penguasa terlena.

Faktor nikmat kekuasaan inilah, katanya, yang membuat kekuasaan itu perlu dibatasi dengan konstitusi. Tapi konstitusi tertulis bukan jaminan mutlak. Bisa saja konstitusi disiasati.

Setelah gerakan reformasi membatasi jabatan dua periode, haus kekuasaan tetap sebagai ancaman untuk melakukan “akal-akalan” licik lewat survei atau berbagai cara lainnya.

Penulis “Sambernyawa Menggugat Indonesia” ini memperlihatkan contoh yang terjadi di negeri ini, di mana penguasa dengan berbagai cara membuka jalan estafet kekuasaan kepada anak, istri atau bahkan tanpa malu kepada istri mudanya.

Hal ini memang terjadi di tingkat daerah, tapi, katanya, bisa menjalar ke tingkat nasional.

Cawe-cawe

Beberapa bulan lalu, diberitakan Jokowi akan “cawe-cawe “dalam pemilihan presiden 2024, demi negara dan kesinambungan pemeritahan.

Pernyataan ini mendapat sambutan cukup meramaikan suasana politik di masa transisi, menjelang pemilihan presiden mendatang.

Di bawah judul “(Harusnya) Bukan Negara Kekuasaan” di harian Kompas halaman satu, Kamis 8 Juni 2023, Bivitri Susanti (dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera) membuka artikelnya dengan kisah yang membedakan dan mempersamakan antara perompak dan penguasa.

Kemudian Bivitri mengatakan, diskusi belakangan ini dipenuhi gambaran nyata kekuasaan yang sedang diperebutkan.

“Ada dua fenomena yang harus diperbincangkan dalam masa-masa transisi kekuasaan. Pertama, kecenderungan pemilik kekuasaan mempertahankan kekuasaannya, atau setidak-tidaknya memelihara agar kekuasaan tetap ada pada lingkaran keluarganya atau penerus yang ia percayai,” ujar Bivitri.

Kedua, katanya, pemilik kekuasaan yang tidak paham keadilan, dan tidak memiliki etika politik juga tidak akan membuka akses politik yang besar bagi nilai-nilai kebajikan yang penting, seperti hak asasi manusia dan antikorupsi.

Hal inilah, sambung Bivitri, yang saat ini yang kita lihat. Dari level yang paling atas, ujarnya lagi, kita diributkan soal ‘cawe-cawe’ yang dilontarkan Jokowi.

Menurut dia, kosa kata cawe-cawe ini multimakna. Dikatakan, antara lain, cawe-cawe juga bisa bermakna kebalikannya, yaitu untuk aktif terjun mengatur jalannya pemilu bukan dengan tujuan keadilan.

“Bisa jadi tujuannya adalah memastikan adanya pemimpin baru yang bisa melanjutkan program pembangunannya,” tuturnya.

Tentu hal ini dalam demokrasi tidak haram. Yang jadi persoalan, bagaimana dukungan ini diberikan? Apakah dengan menyokong gagasan dalam masa kampanye? Atau dengan menggunakan kekuasaannya?

“Kita perlu membincangkannya hal ini secara terbuka sejak sekarang. Bukan untuk memupuk ketidakpercayaan, melainkan karena otoritas memang mudah digunakan untuk kepentingan sang pemilik kekuasaan,” tegas Bivitri.

Belum lama ini ada orangtua dari masa orde baru bersuara bernada Jokowi ini “berani dan bernyali”.

Kemudian Jokowi memberi nasihat kepada seorang bakal calon presiden agar “berani dan bernyali”.

Nasihat ini bagus. Tapi jangan sampai bacapres itu bila kelak jadi pemegang kekuasaan jadi berani dan bernyali untuk menjadi penguasa kedua yang punya anak dan menantu penguasa kota.

Hal ini seperti yang ditulis dalam artikel opini majalah Tempo 3-9 Juli 2023 lalu di bawah judul “Dinasti Bapak dan Mertua” (Halaman 19).

Selamat petang Indonesia. Mari kita bermimpi bebas dari KKN.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/08/10590951/politik-dinasti-anak-kakak-adik-menantu-istri-muda

Terkini Lainnya

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke