Munculnya politisi narsis —narsisme adalah cinta terhadap diri sendiri secara berlebihan, meminjam istilah Sigmund Freud—, cirinya merasa diri paling penting, unik, dan istimewa.
Sehingga kerap menafikan keadaan objektif dan mengkamuflase tampilan, adalah refleksi ketidakmampuan diri politisi tersebut untuk bersaing secara sehat dan wajar di panggung politik.
Komunikasi politik yang lebih mengandalkan wajah para politisi narsis, melalui maraknya baliho dengan foto besar, ketimbang pesan ideologis atau program untuk disampaikan pada masyarakat.
Realitas politik seperti ini mengonfirmasi pendapat yang pernah dilontarkan oleh Aristoteles, bahwa dalam sistem politik demokrasi ada dua penyakit yang selalu terkait atau mengiringi; demagog dan narsisme.
Kenyataan yang mengindikasikan masih sulit dan jauhnya langkah atau proses untuk membangun sistem politik yang lebih terstruktur dan impersonal.
Pola komunikasi politik yang dibangun lewat alat peraga kampanye bergambar, semakin mempertegas proses politik masih belum beranjak dari mekanisme personal, di mana pribadi seorang politisi lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya.
Baliho-baliho narsistik, cenderung "nyampah" mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik para caleg. Seakan tak belajar dari pengalaman election sebelumnya.
Baca juga: Iklan Sampah Politisi,
Selain itu, politisi narsis yang hanya bermodal tampang tanpa memiliki rekam jejak dalam memperjuangkan kepentingan publik, kerap berani maju dalam pemilu, hanya dengan mengandalkan sentimen pemilih.
Sentimen dari basis massa pemilih yang berasal dari lingkungan keluarga besar atau suku dan terutama agama. Adalah pola pendekatan politik personal yang ditempuh dengan mengkristalisasi modal politik primordial. Langkah politik yang kontra produktif terhadap demokratisasi.
Dampaknya, pemilih akan bakal terjebak pada primordialisme sempit dalam menentukan pilihan politik, ketimbang rasionalitas.
Implikasi yang lebih fatal dari pendekatan dengan modal politik semacam ini adalah, politik primordial dan kekerabatan semakin diperkokoh.
Politik primordial atau kekerabatan berpijak pada doktrin politik lawas: blood is thicker than water (darah lebih kental dari air), merupakan pendekatan politik yang kental nepotisme politik dan menafikan kapasitas dan integritas seorang kandidat.
Publik yang memiliki hubungan kekerabatan dan suku, dipengaruhi, ‘terpaksa’ atau ‘dipaksa’ memilih caleg yang kerap kali tidak diketahui secara utuh riwayat hidup dan rekam jejaknya. Hanya atas nama kekerabatan atau suku dan agama.
Realitas menjamurnya politisi narsis penjaja tampang, kebanyakan juga adalah politisi kaget atau ‘karbitan’, tentu dapat mengancam kiprah dan peluang politisi sejati atau politisi otentik.
Politisi otentik adalah yang lahir bukan hanya dengan modal jual tampang. Mereka lahir paling tidak melalui; Pertama, pendidikan yang kemudian mengantarkan menjadi politisi terpelajar atau intelektual politisi.