Kedua, lahir melalui aktivitas sosial-politik yang intens sehingga mendapat pengakuan publik, terbentuk menjadi sosok politisi yang kredibel, genuine, dan bereputasi cemerlang di masyarakat.
Ketiga, terproses di internal parpol melalui sistem kaderisasi yang berjenjang serta aktivitas kepartaian lainnya yang mendukung bekerjanya fungsi parpol.
Keempat, kombinasi ketiganya –melalui aktivitas sosial-politik secara konsisten, pendidikan formal dan kaderisasi berjenjang di internal parpol.
Politisi otentik adalah mereka yang dapat dipercaya menjadi jembatan aspirasi publik. Bagi mereka, politik bukan hanya persoalan merengkuh kekuasaan, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dapat diarahkan semata-mata untuk kepentingan publik secara luas.
Di tangan politisi otentik harapan untuk mewujudkan mekanisme check and balance antara lembaga legislatif dengan eksekutif dapat dilakukan.
Mereka sadar, mengejar kekuasaan tidak lantas kemudian menghalalkan segala cara. Tujuan politik penting, tapi mencapainya juga perlu keadaban.
Cara-cara mengobral janji yang tidak realistis dan cenderung menipu publik, bahkan tega mengotori fasilitas umum dengan tempelan stiker dan pajangan gambar atau baliho tak beraturan yang merupakan sampah politik, bukan representasi dari politisi otentik.
Bagi politisi otentik, kekuasaan adalah buah atau hasil dari perjuangan dan pengorbanan untuk menjadi urat nadi dan katalisator bagi kepentingan publik.
Politisi otentik menyadari bahwa berbekal kekuasaan yang dicapai melalui election, mereka akan memiliki kewenangan dan otoritas membuat serta menyusun keteraturan sosial, lewat peran dan fungsinya.
Mereka adalah jenis politikus yang selalu tampil menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan publik, alih-alih mengejar keuntungan atau menumpuk dan memperkaya diri serta kelompok.
Sekalipun menyangkut kepentingan individu atau kelompok yang bersifat privat, dapat mereka kelola menjadi urusan yang menyangkut kepentingan bersama melalui argumentasi rasional dan objektif.
Nah, sebentar lagi dua realitas yang paradoks, yakni politisi narsis versus politisi otentik dihadapkan pada publik, seperti hidangan yang tersaji di meja makan.
Dalam pemilu nanti, akankah pemilih atau konstituen tetap mau tertipu, memilih politisi yang hanya bermodal isi tas, polesan tampang atau politisi narsis tanpa peran dan kontribusi nyata di masyarakat.
Sering hanya menunjukan empati untuk merebut perhatian suara dalam pemilu, setelah menang kepentingan publik dikangkangi dan kembali sibuk memperkaya diri dan keluarga.
Ataukah memilih politisi otentik yang memiliki rekam jejak apik, sudah berkeringat untuk memperjuangkan kepentingan publik, meski jumlah politisi seperti ini harus diakui populasinya belum begitu banyak.
Pemilu jelas adalah mekanisme prosedur untuk melakukan rotasi keterwakilan politik di parlemen. Ajang menghukum politisi gagal yang narsis dan memastikan parlemen diisi oleh mereka yang kredibel atau otentik.
Pilihan yang salah hanya membuat kita kembali jatuh dan terjerembab dalam situasi yang tidak menguntungkan, negara atau daerah kembali dikelola oleh para amatir yang minim jam tebang, gerombolan pencari kerja lima tahunan.
Kerbau saja tak mau terperosok pada lubang yang sama, masa iya kita begitu?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.