Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zackir L Makmur
Wartawan

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Politik Itu Mahal

Kompas.com - 20/06/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem Pemilu 2024 tetap dilaksanakan secara proporsional terbuka atau coblos caleg (calon legislatif). Keputusan ini tetap dan mengikat.

Apa yang jadi keputusan MK berbeda jauh dengan muntahan spekulasi politik sebelumnya –di mana spekulasi politik ini pada mulanya dihembuskan oleh seorang pakar tata negara, kemudian dikunyah-kunyah para politisi dan dimuntahkan ke publik.

Namun politik memang bukanlah dunia yang tunggal. Ia adalah dunia yang selalu berderu, bergemuruh, dan bergerak.

Dunia semacam ini justru digambarkan Mao Zedong (1893-1976) mendebarkan hati. Mao bilang, “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah."

Mungkin Mao tidak sepenuhnya benar, namun ketika membaca sejarah awal politik manusia dimulai sejak zaman kuno, lalu zaman Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, maupun Romawi Kuno: nyatalah politik itu adalah dunia yang penuh darah.

Namun dunia yang mengerikan itu demikian lucu diilustrasikan oleh Will Rogers (1879-1935). Aktor dan humoris dari Amerika Serikat ini bilang, "Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang."

Politik adalah uang, ini lucu. Karena pada mulanya politik bukanlah “alat”, melaikan “siasat.”

Caleg mengeluarkan uang

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka atau coblos caleg (calon legislatif), maka dalam sistem ini caleg “diharuskan” secara terbuka memperkenalkan diri agar publik tahu.

Inilah mengapa sosok-sosok yang dikenal publik –terutama sekali dari kalangan dunia hiburan—lebih mudah mendulang suara dengan modal dikenal publik.

Bagi partai politik, sosok-sosok ini menguntung. Apakah kemudian otak sosok-sosok ini demikian melempem, atau mulutnya bungkem, tidaklah jadi soal. Terpenting adalah perolehan suara meningkat secara signifikan.

Hitungan demikian menjadi pandangan umum yang acapkali mendasari perekrutan caleg. Dari sisi positif hal ini, partai maupun caleg tidak keluar duit banyak.

Sebab apa mau dikata, mengiklankan diri sebagai caleg betapa butuh banyak uang. Dan mahal. Maka "politik itu mahal,” –yang dulu dikatakan Will Rogers— menemui bentuknya yang lucu.

Lucu, karena terkuak bahwa ekspresi politik masa kini adalah politik banyak mengeluarkan uang yang mengacu pada praktik pengeluaran besar sumber daya finansial.

Dalam hitungan gampangnya, hal itu terjadi untuk biaya kampanye politik, atau upaya untuk memperoleh kekuasan politik dengan keterpilihan, atau untuk mempertahankan kekuasaan politik itu sendiri.

Maka caleg dalam kampanye politik, pasti mengeluarkan uang banyak. Duit ini untuk biaya iklan televisi, iklan media online, media cetak, pembuatan materi kampanye, pertemuan publik, membuat dan menghadiri acara kampanye dalam upaya memengaruhi pemilih.

Memang, tidak semua caleg melakukan entri poin tersebut. Namun caleg yang semacam ini, caleg gembel. Bukankah kita tahu: mana ada caleg yang gembel?

Dari itu caleg harus mengualarkan uang banyak. Berapa? Riset untuk sebuah kepastian jawabannya belum banyak ditemukan, maka jawabannya masih bersifat duga-duga, hingga angka miliaran rupiah.

Risiko tanpa pengawasan

Pada Pemilu 2024, diperkirakan akan terjadi pengeluaran uang yang besar dalam politik yang didominasi oleh keramaian. Namun, ada bahaya politik yang tersembunyi di balik fenomena ini yang di dalam pengeluaran dana politik itu –ada dana gelap.

Ironisnya, “alat” pendeteksian dana gelap politik itu bernama peraturan perundang-undang tidak ada. Undang Undang (UU) Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu, belum—atau lupa—mengaturnya.

Titi Anggraini, seorang aktivis pro-demokrasi yang juga punya perhatian mendalam terhadap konteks pengeluaran uang politik, menyampaikan pandangan yang kritis adanya ruang gelap dana politik.

Tragisnya bahwa hal ini tidak dapat dijangkau oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), karena belum diatur dalam UU Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu.

Akibatnya, setidaknya ada sejumlah caleg atau pun partai politik terus sibuk dengan fokus pada kepentingan sosial atau masyarakat, justru mengeluarkan dana politik semakin meningkat. Kesibukan ini bisa bernama kegiatan sosialiasi, atau kampanye secara halus.

Dan ini, secara tak langsung, sudah memakai dana jor-joran. Aktivitas elektoral ini pun makin menderu, tapi pelaporan akuntabilitasnya baru bisa dijangkau oleh KPU dan Bawaslu pada masa kampanye, yakni 28 Oktober 2023.

Jika kita membahas politik secara keseluruhan, pertanyaan muncul mengenai apakah lembaga seperti KPU dan Bawaslu punya keberanian pengawasan “mencegat” dana gelap dalam politik?

Bagaimanapun pemilu tanpa pengawasan pendanaan politik, ujung-ujungnya berpotensi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan ketidakadilan dalam proses politik.

Kandidat atau partai politik yang memiliki akses ke dana yang melimpah dapat memanfaatkannya untuk memenangkan pemilu dengan cara yang tidak sah, seperti suap atau manipulasi.

Begitu pula kandidat atau partai politik dengan sumber daya finansial yang lebih besar, tanpa pengawasan pencegatan, justru membuka peluang ketimpangan kompetisi politik.

Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam akses terhadap media, kampanye yang efektif, atau sumber daya lainnya.

Akibatnya, pemilih mungkin tidak mendapatkan informasi yang seimbang mengenai berbagai pilihan yang tersedia.

Kemudian datang tragedi ketika pemilu yang tidak diawasi arus dana politik, antara lain adalah: kandidat atau partai politik dapat menjadi terlalu tergantung pada sumbangan atau dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan khusus.

Hal ini dapat mengarah pada kebijakan yang lebih mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tersebut, daripada kepentingan publik secara keseluruhan.

Belum lagi partai politik yang memiliki akses ke sumber daya finansial melimpah dapat mendominasi arena politik. Hal ini dapat menghambat partisipasi politik yang adil.

Maka merugikan partai-partai yang lebih kecil, atau kandidat independen yang tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya tersebut.

Mengatur pendanaan politik

Bagaimanapun politik itu mahal , dan “untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang" —kata Will Rogers sebetulnya tanpa melucu.

Bersama ini walau pengeluaran uang dalam politik adalah praktik umum, namun dari sini timbul masalah: memberikan pengaruh yang tidak seimbang bagi mereka yang memiliki sumber daya finansial lebih besar, sehingga mengabaikan suara dan kepentingan rakyat biasa.

Selain itu, ada juga keprihatinan tentang korupsi dan pengaruh uang dalam proses politik. Oleh karena itu publik mintakan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia –sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur pemilihan umum—wajib menerapkan undang-undang dan aturan untuk mengatur pendanaan politik.

Transparansi keuangan ini dimaksudkan agar membatasi potensi penyalahgunaan, dan memastikan integritas dalam sistem politik.

Maka pengaturan pendanaan politik adalah hal yang penting dalam menjaga integritas dan transparansi dalam proses politik.

Banyak negara memiliki undang-undang dan peraturan yang mengatur pendanaan politik untuk mencegah korupsi, manipulasi, atau kegiatan ilegal lainnya.

Sebutlah di antaranya adalah Amerika Serikat yang memiliki undang-undang mengatur pendanaan politik, seperti Federal Election Campaign Act (FECA).

Juga Kanada yang bernama undang-undang seperti Canada Elections Act dan Political Financing Act mengatur batasan sumbangan, transparansi, dan laporan pendanaan politik.

Ataupun Jerman yang mempunyai “Parteiengesetz” –undang-undang ini mengatur pendanaan partai politik, membatasi sumbangan individu dan perusahaan, dan mewajibkan partai politik untuk melaporkan sumber pendanaan dan penggunaannya.

Dengan demikian, adanya perundang-undang yang mengatur dan mengawasi aliran dana politik, kepercayaan publik terhadap pemilu tetap utuh.

Pesta demokrasi yang ini pun adil, karena adil ini sangat tipis faktor kecurangan. Tipisnya faktor kecurangan ini juga membuat pemilih tidak meragukan integritas pemilu, dan mendukung keabsahan pemerintahan yang terpilih.

Harapan itu untuk pemilu di Indonesia bukanlah utopia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com