Salin Artikel

Politik Itu Mahal

Apa yang jadi keputusan MK berbeda jauh dengan muntahan spekulasi politik sebelumnya –di mana spekulasi politik ini pada mulanya dihembuskan oleh seorang pakar tata negara, kemudian dikunyah-kunyah para politisi dan dimuntahkan ke publik.

Namun politik memang bukanlah dunia yang tunggal. Ia adalah dunia yang selalu berderu, bergemuruh, dan bergerak.

Dunia semacam ini justru digambarkan Mao Zedong (1893-1976) mendebarkan hati. Mao bilang, “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah."

Mungkin Mao tidak sepenuhnya benar, namun ketika membaca sejarah awal politik manusia dimulai sejak zaman kuno, lalu zaman Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, maupun Romawi Kuno: nyatalah politik itu adalah dunia yang penuh darah.

Namun dunia yang mengerikan itu demikian lucu diilustrasikan oleh Will Rogers (1879-1935). Aktor dan humoris dari Amerika Serikat ini bilang, "Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang."

Politik adalah uang, ini lucu. Karena pada mulanya politik bukanlah “alat”, melaikan “siasat.”

Caleg mengeluarkan uang

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka atau coblos caleg (calon legislatif), maka dalam sistem ini caleg “diharuskan” secara terbuka memperkenalkan diri agar publik tahu.

Inilah mengapa sosok-sosok yang dikenal publik –terutama sekali dari kalangan dunia hiburan—lebih mudah mendulang suara dengan modal dikenal publik.

Bagi partai politik, sosok-sosok ini menguntung. Apakah kemudian otak sosok-sosok ini demikian melempem, atau mulutnya bungkem, tidaklah jadi soal. Terpenting adalah perolehan suara meningkat secara signifikan.

Hitungan demikian menjadi pandangan umum yang acapkali mendasari perekrutan caleg. Dari sisi positif hal ini, partai maupun caleg tidak keluar duit banyak.

Sebab apa mau dikata, mengiklankan diri sebagai caleg betapa butuh banyak uang. Dan mahal. Maka "politik itu mahal,” –yang dulu dikatakan Will Rogers— menemui bentuknya yang lucu.

Lucu, karena terkuak bahwa ekspresi politik masa kini adalah politik banyak mengeluarkan uang yang mengacu pada praktik pengeluaran besar sumber daya finansial.

Dalam hitungan gampangnya, hal itu terjadi untuk biaya kampanye politik, atau upaya untuk memperoleh kekuasan politik dengan keterpilihan, atau untuk mempertahankan kekuasaan politik itu sendiri.

Maka caleg dalam kampanye politik, pasti mengeluarkan uang banyak. Duit ini untuk biaya iklan televisi, iklan media online, media cetak, pembuatan materi kampanye, pertemuan publik, membuat dan menghadiri acara kampanye dalam upaya memengaruhi pemilih.

Memang, tidak semua caleg melakukan entri poin tersebut. Namun caleg yang semacam ini, caleg gembel. Bukankah kita tahu: mana ada caleg yang gembel?

Dari itu caleg harus mengualarkan uang banyak. Berapa? Riset untuk sebuah kepastian jawabannya belum banyak ditemukan, maka jawabannya masih bersifat duga-duga, hingga angka miliaran rupiah.

Risiko tanpa pengawasan

Pada Pemilu 2024, diperkirakan akan terjadi pengeluaran uang yang besar dalam politik yang didominasi oleh keramaian. Namun, ada bahaya politik yang tersembunyi di balik fenomena ini yang di dalam pengeluaran dana politik itu –ada dana gelap.

Ironisnya, “alat” pendeteksian dana gelap politik itu bernama peraturan perundang-undang tidak ada. Undang Undang (UU) Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu, belum—atau lupa—mengaturnya.

Titi Anggraini, seorang aktivis pro-demokrasi yang juga punya perhatian mendalam terhadap konteks pengeluaran uang politik, menyampaikan pandangan yang kritis adanya ruang gelap dana politik.

Tragisnya bahwa hal ini tidak dapat dijangkau oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), karena belum diatur dalam UU Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu.

Akibatnya, setidaknya ada sejumlah caleg atau pun partai politik terus sibuk dengan fokus pada kepentingan sosial atau masyarakat, justru mengeluarkan dana politik semakin meningkat. Kesibukan ini bisa bernama kegiatan sosialiasi, atau kampanye secara halus.

Dan ini, secara tak langsung, sudah memakai dana jor-joran. Aktivitas elektoral ini pun makin menderu, tapi pelaporan akuntabilitasnya baru bisa dijangkau oleh KPU dan Bawaslu pada masa kampanye, yakni 28 Oktober 2023.

Jika kita membahas politik secara keseluruhan, pertanyaan muncul mengenai apakah lembaga seperti KPU dan Bawaslu punya keberanian pengawasan “mencegat” dana gelap dalam politik?

Bagaimanapun pemilu tanpa pengawasan pendanaan politik, ujung-ujungnya berpotensi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan ketidakadilan dalam proses politik.

Kandidat atau partai politik yang memiliki akses ke dana yang melimpah dapat memanfaatkannya untuk memenangkan pemilu dengan cara yang tidak sah, seperti suap atau manipulasi.

Begitu pula kandidat atau partai politik dengan sumber daya finansial yang lebih besar, tanpa pengawasan pencegatan, justru membuka peluang ketimpangan kompetisi politik.

Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam akses terhadap media, kampanye yang efektif, atau sumber daya lainnya.

Akibatnya, pemilih mungkin tidak mendapatkan informasi yang seimbang mengenai berbagai pilihan yang tersedia.

Kemudian datang tragedi ketika pemilu yang tidak diawasi arus dana politik, antara lain adalah: kandidat atau partai politik dapat menjadi terlalu tergantung pada sumbangan atau dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan khusus.

Hal ini dapat mengarah pada kebijakan yang lebih mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tersebut, daripada kepentingan publik secara keseluruhan.

Belum lagi partai politik yang memiliki akses ke sumber daya finansial melimpah dapat mendominasi arena politik. Hal ini dapat menghambat partisipasi politik yang adil.

Maka merugikan partai-partai yang lebih kecil, atau kandidat independen yang tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya tersebut.

Mengatur pendanaan politik

Bagaimanapun politik itu mahal , dan “untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang" —kata Will Rogers sebetulnya tanpa melucu.

Bersama ini walau pengeluaran uang dalam politik adalah praktik umum, namun dari sini timbul masalah: memberikan pengaruh yang tidak seimbang bagi mereka yang memiliki sumber daya finansial lebih besar, sehingga mengabaikan suara dan kepentingan rakyat biasa.

Selain itu, ada juga keprihatinan tentang korupsi dan pengaruh uang dalam proses politik. Oleh karena itu publik mintakan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia –sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur pemilihan umum—wajib menerapkan undang-undang dan aturan untuk mengatur pendanaan politik.

Transparansi keuangan ini dimaksudkan agar membatasi potensi penyalahgunaan, dan memastikan integritas dalam sistem politik.

Maka pengaturan pendanaan politik adalah hal yang penting dalam menjaga integritas dan transparansi dalam proses politik.

Banyak negara memiliki undang-undang dan peraturan yang mengatur pendanaan politik untuk mencegah korupsi, manipulasi, atau kegiatan ilegal lainnya.

Sebutlah di antaranya adalah Amerika Serikat yang memiliki undang-undang mengatur pendanaan politik, seperti Federal Election Campaign Act (FECA).

Juga Kanada yang bernama undang-undang seperti Canada Elections Act dan Political Financing Act mengatur batasan sumbangan, transparansi, dan laporan pendanaan politik.

Ataupun Jerman yang mempunyai “Parteiengesetz” –undang-undang ini mengatur pendanaan partai politik, membatasi sumbangan individu dan perusahaan, dan mewajibkan partai politik untuk melaporkan sumber pendanaan dan penggunaannya.

Dengan demikian, adanya perundang-undang yang mengatur dan mengawasi aliran dana politik, kepercayaan publik terhadap pemilu tetap utuh.

Pesta demokrasi yang ini pun adil, karena adil ini sangat tipis faktor kecurangan. Tipisnya faktor kecurangan ini juga membuat pemilih tidak meragukan integritas pemilu, dan mendukung keabsahan pemerintahan yang terpilih.

Harapan itu untuk pemilu di Indonesia bukanlah utopia.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/20/05450031/politik-itu-mahal

Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke