JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa partai politik tidak serta-merta dilemahkan dengan penerapan sistem proporsional daftar calon terbuka.
Hal ini diungkapkan hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu legislatif.
Pernyataan ini membantah dalil para pemohon yang menilai bahwa sistem proporsional terbuka melemahkan peran partai politik.
Saldi menegaskan, partai politik masih tetap berkuasa untuk, misalnya, menentukan nomor urut partai politik.
Baca juga: Ungkap Keunggulan Proporsional Terbuka, MK: Caleg Lebih Dekat dengan Pemilih
Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan, nomor urut calon anggota legislatif (caleg) sangat krusial dalam menentukan kemenangan.
"Bahwa apabila dibaca secara saksama, hasil pemilihan umum anggota DPR tahun 2009, 2014, dan 2019, sekalipun menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka, secara empirik calon terpilih tetap merupakan calon yang berada pada nomor urut 1 dan nomor urut 2 yang dapat dimaknai sebagai 'nomor urut calon jadi' yang diajukan partai politik," ungkap Saldi membacakan bagian pertimbangan putusan perkara, Kamis (15/6/2023).
Mahkamah mengutip hasil riset Pusat Kajian dan Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Pada Pemilu 2009, terdapat 79,1 anggota DPR terpilih merupakan caleg nomor urut 1 dan 2. Pada 2014, jumlahnya mencapai 84,3 persen. Pada Pemilu 2019, jumlahnya 82,44 persen.
"Artinya, penyelenggaraan pemilihan umum dengan menggunakan sistem apapun, tanpa adanya upaya maksimal untuk melakukan hal-hal tersebut, eksistensi partai politik tetap akan dipertanyakan," kata Saldi
"Dengan demikian, eksistensi partai politik tidak semata-mata ditentukan oleh pilihan terhadap sistem pemilihan umum," ujarnya.
Baca juga: MK: Konstitusi Tak Pernah Atur Jenis Sistem Pemilu
Mahkamah mempertimbangkan, terkait dalil bahwa partai politik kehilangan peran sentralnya dalam sistem politik Indonesia, maka itu adalah tanggung jawab partai politik untuk memperkuat kelembagaannya sebagai saluran aspirasi konstituen.
Sebagai informasi, uju materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November 2022.
Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menggugat sejumlah pasal di UU Pemilu yang bertumpu pada Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu legislatif proporsional daftar calon terbuka.
Lewat gugatan tersebut, enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, lalu Yuwono Pintadi yang merupakan kader Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Baca juga: Jokowi Tegaskan Pemerintah Tak Campuri Putusan MK soal Sistem Pemilu
Adapun Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.