JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno menilai, reformasi belum berhasil memberantas praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.
Padahal, menurutnya pemberantasan KKN menjadi cita-cita yang digaungkan oleh para mahasiswa ketika meruntuhkan rezim Orde Baru, 1998.
Hal itu ia sampaikan dalam refleksinya merespons arah ke depan bangsa dan negara, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pilpres 2024.
"Kelemahan utama adalah bahwa reformasi tidak berhasil membuat nyata yang dituntut oleh para mahasiswa, berantas KKN, berantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Itu sudah semula sudah tidak berhasil," kata Romo Magnis dalam paparannya di acara "Dialog Kebangsaan: Semangat Keindonesiaan Pasca Pemilu, Harapan dan Tantangan" di Jakarta Timur, Senin (29/4/2024).
Baca juga: Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024
Magnis mengingatkan, jika praktik KKN dipertahankan, maka bakal menggerogoti demokrasi yang dinilai sudah berjalan baik.
Meski begitu, menurutnya saat ini sudah selesai membicarakan mengenai pelanggaran yang terjadi pada Pemilu 2024.
Namun, akan menjadi pertanyaan bagaimana sistem pemerintahan yang bakal dibangun ke depan di bawah pimpinan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Yang menjadi pertanyaan putusannya. Kita sekarang akan masuk ke dalam suatu sistem apa? Kita belum tahu," tanya Magnis.
Baca juga: Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?
Magnis pun mengungkapkan sejumlah kekhawatirannya soal demokrasi lantaran belum berhasilnya Indonesia memberantas praktik KKN hingga kini.
Semisal, dia khawatir tentang kebebasan berpendapat masih dijamin pada pemerintahan ke depan.
Terlebih, jelas Magnis, dia menyoroti adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
"Apa kita akan mendapat suatu demokrasi atau tidak dapat demokrasi? Apakah kebebasan menyatakan pendapat masih akan dijamin atau tidak? Kita ingat bahwa di bawah Jokowi ditandatangani Undang-undang ITE. Jadi yang membatasi membuat mudah orang dituduh, menghasut kalau dia mengkritik. Bisa sangat berbahaya kalau itu kemudian terjadi," tutur rohaniwan Katolik itu.
Baca juga: Serangan Balik Yusril ke Magnis Suseno, Sebut Bicara Omong Kosong
Dalam putusannya, MK menilai, Presiden Joko Widodo tidak melakukan nepotisme karena menyetujui dan mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
MK menolak dalil kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang menuding Jokowi melanggar ketentuan mengenai nepotisme di Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, serta Undang-Undang Pemilu.
"Mahkamah berpendapat dalil pemohon mengenai pelanggaran atas Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, UU 28/1999, dan Pasal 282 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim MK Daniel Yusmic Foekh dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
MK beralasan, kubu Anies-Muhaimin tidak menguraikan lebih lanjut dan tidak membuktikan dalilnya sehingga Mahkamah tidak yakin akan kebenaran dalil tersebut.
Terlebih, jabatan wakil presiden yang dipersoalkan adalah jabatan yang diisi melalui pemilihan, bukan jabatan yang ditunjuk atau diangkat secara langsung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.