JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengaku khawatir dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Dana Kampanye Pemilu 2024.
"Pesta akan semakin liar! Dan tentunya akan sangat bahaya bagi demokrasi di Indonesia," kata Fahri Hamzah dalam keterangan resmi partai, Rabu (13/6/2023).
Fahri menegaskan bahwa dana pemilu adalah salah satu faktor penentu utama kemenangan dalam kompetisi ini.
Mantan Wakil Ketua DPR RI itu khawatir, dihapusnya LPSDK membuat pertarungan tidak adil.
Baca juga: Legalitas Dana Kampanye Kian Dipertanyakan Usai KPU Hapus Wajib Lapor Sumbangan Kampanye
"Bahkan kalau tidak dikontrol dan dibatasi, maka uang bisa menjadi sebab kemenangan utama terutama untuk money politics atau politik uang," kata Fahri.
Ia menyampaikan, pendanaan kampanye bisa menggunakan 3 model, yaitu dibiayai sepenuhnya oleh negara, dibiayai seluruhnya oleh mekanisme pasar, atau sistem campuran.
Indonesia, menurutnya, perlu memberlakukan aturan ketat karena tidak sepenuhnya membiayai para peserta pemilu yang dinilai bisa mencegah keterlibatan uang-uang dari sumber ilegal.
"Sedang pembiayaan dengan sistem hybird, sepertinya kita ingin memakai ini. Tapi regulasinya itu tidak ketat sehingga pelibatan uang ilegal di dalam pemilu di kita itu masih tidak terlalu ketat, terutama yang tidak disadari adalah pembiayaan pemilu berbasis kepada uang pribadi," sebut Fahri.
Sebelumnya diberitakan, rencana KPU menghapus LPSDK diungkapkan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Idham Holik dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023.
Baca juga: Wajib Lapor Sumbangan Dihapus, Bawaslu Sulit Awasi Aliran Dana Kampanye 2024
Ia beralasan, LPSDK dihapus lantaran tak tercantum secara eksplisit di dalam UU Pemilu. KPU juga berdalih bahwa dihapusnya LPSDK berkaitan dengan singkatnya masa kampanye Pemilu 2024 yang hanya 75 hari.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) khawatir dihapusnya LPSDK membuat peserta pemilu semakin leluasa melanggar ketentuan dana kampanye.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, menyampaikan bahwa dihapusnya LPSDK yang dulunya dilaporkan di tengah masa kampanye bakal membuat masa kampanye Pemilu 2024 tak ubahnya ruang gelap.
Tak menutup kemungkinan, para peserta pemilu semakin leluasa menggunakan uang dari sumber-sumber ilegal untuk berkampanye. Sebab, sumbangan dana kampanye banyak mengalir saat masa kampanye.
Baca juga: Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye
"Pasti (penghapusan ini membuka celah masuknya dana gelap kepada peserta pemilu), karena tidak ada lagi ruang untuk mengawasi penerima atau pemberi sumbangan dana pemilu," kata Fadli kepada wartawan Selasa (13/6/2023).
Bukan hanya dianggap membuka ruang masuknya dana-dana ilegal, dihapusnya LPSDK juga dianggap membuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak mempunyai pijakan untuk menindak pelanggaran ketentuan dana kampanye seperti batas maksimal dana sumbangan dan larangan menerima sumbangan dari pihak asing.
Fadli meragukan klaim Bawaslu bahwa pengawasan dana kampanye bisa dilakukan, walaupun tak ideal, dengan membandingkan 2 laporan tersisa yang diwajibkan KPU, yaitu Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan-Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
"Dengan dihapusnya instrumen LPSDK, maka Bawaslu tidak bisa mengecek peserta pemilu yang melanggar ketentuan sumbangan kampanye. Akhirnya, Bawaslu tidak bisa menjatuhkannya sanksi sebagaimana diatur dalam UU Pemilu," kata Fadli.
Ia pun mempertanyakan alasan sesungguhnya KPU menghapus ketentuan LPSDK ini.
Baca juga: KPU Dorong Peserta Pemilu Daily Update Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye
"Saya enggak tahu apakah penghapusan ini karena memang perspektif KPU yang bermasalah, atau ini sedang menjalankan pesan dari kekuatan politik, pesanan tertentu, saya tidak tahu," ia menambahkan.
Sebagai informasi, penerapan LPSDK sebetulnya sudah menjadi warisan sejak Pemilu 2014.
Dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menganggap kebijakan ini bermasalah sebab tidak semua kandidat yang bertarung dalam kontestasi memiliki uang yang banyak untuk mendanai kampanyenya.
Dengan tingginya ongkos politik di Indonesia, keterlibatan sumbangan dari pihak ketiga kerapkali dituding sebagai salah satu penyebab korupsi yang terjadi ketika kandidat tersebut terpilih sebagai pejabat.
Baca juga: Kebijakan KPU Hapus Wajib Lapor Sumbangan Dana Kampanye Dinilai sebagai Kemunduran
"Sangat mungkin ada peserta yang banyak aktivitas kampanyenya tapi tidak jelas pemasukannya dari mana mengingat harta kekayaannya tidak terlalu besar," ungkap Titi kepada Kompas.com, Rabu (31/5/2023).
"LPSDK ini praktik baik yang mestinya menjadi komitmen semua pihak untuk mewujudkan pemilu bersih dan antikorupsi," kata dia.
Aspek transparansi ini krusial karena calon anggota legislatif (caleg) juga tidak diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebelum mencalonkan diri.
"Durasi kampanye memang pendek hanya 75 hari, tapi justru karena makin pendek, sangat mungkin peserta pemilu akan jor-joran mengeluarkan belanja kampanye untuk penetrasi pemilih agar di waktu yang sempit bisa optimal mempengaruhi pemilih. Di situ lah krusial dan strategisnya LPSDK," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.