Sehingga sisanya 88 persen tidak mempunyai identitas partai atau disebut sebagai pemilih atau masyarakat yang secara politik mengambang (floating).
Jauhnya jarak antara partai politik dan masyarakat berdampak pada tidak maksimalnya peran parpol sebagai jembatan atau intermediary yang memungkinkan partai melakukan proses representasi dengan cara mengekspresikan dan mengartikulasi tuntutan dan kebutuhan masyarakat kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Akibatnya kebijakan yang keluar tidak sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Oleh sebab itu, tidak ideal sistem proporsional tertutup menjadi pilihan sistem pemilu saat ini ketika kondisi parpol seperti hal tersebut.
Penggunaan sistem proporsional tertutup pada era orde baru telah mencatat sejarah kelam bagi kelangsungan demokrasi. Karakteristik demokrasi prosedural yang identik disebut Democratic Elitism.
Karakteristik tersebut memaknai pemilu lebih difungsikan sebagai instrumen oleh para elite politik untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan untuk mengamankan genggaman hegemoni kekuasaan yang telah didapatkan.
Dampaknya, suara masyarakat yang diamanahkan pada pemilu tidak berdampak pada kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, baik berupa tindakan maupun kebijakan publik oleh pemerintah, karena tidak terciptanya korelasi antara presence and representation. Kondisi ini oleh Syarif Hidayat di sebut Vote Minus Voice.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.