Begitu pun, dalam halnya penentuan sistem pemilu yang seharusnya mencerminkan metode demokratis atau lebih memberikan peran besar kepada rakyat untuk menentukan wakilnya.
Perdebatan mengenai sistem pemilu yang ideal dalam hal ini diskursus terkait sistem proprosional tertutup yang menghendaki keterpilihan caleg didasarkan keputusan pengurus parpol berdasarkan nomor urut dan proporsional terbuka yang menghendaki keterpilihan caleg didasarkan pada suara terbanyak, pilihan sistem ini masing-masing mempunyai plus dan minus, keduanya merupakan sistem yang demokratis.
Akan tetapi, menurut penulis, sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang lebih kompatibel untuk diterapkan pada situasi demokrasi saat ini dan untuk Pemilu 2024, didasarkan oleh beberapa hal antara lain sebagai berikut:
Pertama, penghargaan atas kedaulatan rakyat merupakan amanat konstitusional yang harus dijamin.
Hak suara pemilih yang merupakan wujud kedaulatan rakyat tidak kemudian dinegasikan oleh kekuasaan partai politik yang koruptif-oligarkis untuk mengubah pilihan rakyat menjadi pilihan pengurus parpol melalui nomor urut sebagaimana sistem proporsional tertutup.
Keseimbangannya dengan peran partai politik melalui proses rekrutmen bakal calon, sehingga dapat dianggap selesai perannya pada tahap ini. Untuk penentuan keterpilihan sudah seharusnya oleh rakyat sendiri, tidak boleh bergeser pada pengurus parpol.
Dengan demikian, menjadikan rakyat sebagai subjek utama dan tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh parpol peserta pemilu untuk semata-mata mencapai kemenangan.
Kedua, melihat reformasi politik dalam UUD 1945 perubahan bahwa Indonesia pascaorde baru telah menganut sistem pemilihan langsung untuk presiden dan wakil presiden, DPD, dan kepala daerah, maka menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR RI dan DPRD bersifat langsung memilih orang tanpa bermaksud mengurangi hak-hak politik parpol.
Terlebih partisipasi rakyat yang seluas-luasnya dalam kontestasi pemilu merupakan spirit demokrasi era reformasi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Ketiga, metode dalam sistem proporsional tertutup tidak sejalan dengan pengakuan terhadap prinsip kedudukan dan kesempatan sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law) sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI1945.
Dengan prinsip ini, caleg mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama dalam pemilihan sesuai dengan perjuangan mereka meyakinkan rakyat untuk memilih, bukan pengurus parpol yang secara langsung mengesampingkan pilihan rakyat karena didasarkan nomor urut (Putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008).
Keempat, perihal problematik hubungan partai politik dan masyarakat yang berjarak atau tidak dekat.
Indikator yang bisa digunakan untuk ini adalah tingkat identitas partai (Party Indentification) yang diartikan orientasi afeksi, sikap, atau perasaan seseorang terhadap partai politik dalam masyarakat (Saiful Mujani dkk, 2012).
Sehingga, memengaruhi pemilih untuk memilih partai tersebut pada setiap agenda pemilu karena kuatnya kedekatan emosional dan psikologis.
Tren negatif rendahnya identitas partai di Indonesia dapat dilihat dari hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Januari 2021, yang menunjukan tingkat identitas partai hanya 12 persen saja.