Dua kali saya datang ke makam Bung Karno. Pertama, Juni 2001 bersama puteri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri yang membawa 200 orang lebih mahasiswa dan mahasiswi Universitas Bung Karno dengan kereta api dari Jakarta ke Blitar.
Saat itu hadir Gus Dur (Presiden) dan Megawati (Wapres). Ribuan orang dari berbagai penjuru Indonesia memenuhi kota Blitar.
Kedua, saya datang bersama Sudirman Said, mantan menteri ESDM pada 17 Januari 2017, menjelang pemilihan gubernur Jawa Tengah. Ketika itu, Sudirman Said sebagai salah satu calon gubernur Jateng.
Setiap datang ke makam Bung Karno, saya selalu membayangkan Kota Blitar pada 21 Juni 1970, ketika pemakaman Bung Karno.
Untuk membayangkannya saya membaca laporan almarhum Soemarkotjo Soediro (SS), wartawan senior Kompas yang menghadiri pemakaman itu dan setelah itu tinggal beberapa hari di Blitar. Bila laporan SS saya tulis kembali, maka akan jadi seperti berikut ini.
Wafatnya Bung Karno membuat masyarakat Blitar berduka, tapi mereka tidak berani mengekspresikan kedukaan itu. Mereka takut.
Seperti Bung Karno, saat itu kota Blitar masih merupakan wilayah “karantina politik” (tahanan politik) yang siang malam diawasi Kopkamtib.
Ekspresi duka mereka terbuka, saat ribuan orang dari luar kota Blitar memenuhi kota kecil itu. Mereka menjadi berani memasang bendera setengah tiang.
“Rombongan-rombongan itu datang dari seluruh Jawa Timur, berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di antaranya ada yang rela berjalan kaki ke Blitar (sehingga terlambat menyaksikan acara pemakaman Bung Karno). Para pengagum Bung Karno dari Sumatera dan Kupang naik pesawat terbang. Kota Blitar yang kecil, berpenduduk 460.000 orang, kemudian penuh sesak.”
Di kota itu hanya ada satu losmen yang saat itu telah dipenuhi orang. Kota itu hanya punya beberapa restoran dan warung-warung kecil.
Banyak pelayat tidak dapat penginapan dan makanan. Ada yang setelah sampai Blitar langsung pulang. Namun banyak yang pada malam harinya duduk-duduk di pinggir jalan, bersandar di tembok toko-toko, sambil menahan lapar.
Wartawan Kompas, SS, ketika tiba tempat pemakaman di Blitar pada jam 13.00 WIB, langsung bisa jumpa Pak Wardojo (kakak ipar Bung Karno) dan Pak Sukojono (keponakan Bung Karno).
“Mereka duduk di atas tanah menantikan kedatangan jenazah Bung Karno dari Jakarta,” demikian tulis SS.
Pak Wardojo mengatakan, tidak mendapat pemberitahuan dari pemerintah tentang wafatnya Bung Karno. Ia tahu dari siaran radio.
Ditanya apakah puas dengan keputusan pemerintah tentang pemakaman dengan upacara kenegaraan, Pak Wardojo mengatakan, “Kami berterimakasih”.