Ia menyoroti, bukan kompetensi pengadilan negeri menangani sengketa pemilu.
“Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi, yang memutus harus Bawaslu, tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN,” ujar Mahfud.
“Adapun apabila terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” ujar Mahfud lagi.
Baca juga: Antara PN Jakpus, Partai Prima, KPU, dan Perintah Tunda Pemilu
Mahfud bahkan mengajak KPU banding habis-habisan atas putusan ini.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa majelis hakim PN Jakpus keliru.
Sebab gugatan Prima adalah gugatan perdata perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.
"Dalam gugatan perdata biasa seperti itu, maka sengketa yang terjadi adalah antara penggugat (Partai Prima) dan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain," kata Yusril dalam keterangannya, kemarin.
Baca juga: Perjalanan Prima Gugat KPU 4 Kali hingga Menang di PN Jakpus, Berujung Kisruh Tunda Pemilu
Oleh karenanya, dalam kasus gugatan perdata yang dilayangkan Prima, putusan PN Jakpus seharusnya tidak mengikat partai-partai politik lain apalagi Pemilu 2024 secara keseluruhan.
"Pada hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena pengadilan negeri tidak bewenang mengadili perkara tersebut," kata Yusril yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM RI.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menganggap PN Jakpus telah bertindak di luar yurisdiksi.
Ia menyinggung prinsip penyelenggaraan pemilu 5 tahun yang merupakan amanat UUD 1945 lewat Pasal 22E ayat (1).
Baca juga: LHKPN 3 Hakim yang Menangkan Gugatan Partai Prima dan Tunda Pemilu
"Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi saja tidak bisa menabrak ketentuan ini, apalagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Feri kepada Kompas.com, Kamis.
"Ini tidak masuk akal. Ini bukan yurisdiksi dan bukan kewenangannya," ia melanjutkan.
Ia memberi ilustrasi, apabila pengadilan negeri diberikan wewenang semacam ini, maka ribuan pengadilan negeri di seluruh Indonesia dapat membuat putusan seperti yang dibuat PN Jakpus untuk menunda pemilu yang sifatnya nasional. Hal ini akan menimbulkan kekacauan.
"Oleh karena itu putusan ini semestinya harus segera dibatalkan dan tidak bisa dianggap sebagai putusan peradilan karena bukan menjalankan yurisdiksinya," ungkap Feri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.