JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memungkiri dari data yang mereka punya memperlihatkan korupsi dalam sistem politik di Indonesia terjadi karena benturan kepentingan karena para kepala daerah dan politikus yang berlatar belakang pengusaha.
Korupsi dalam sistem politik itu menjadi salah satu indikator yang disorot dalam penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 yang dipaparkan Transparency International Indonesia (TII).
“Politisi, kepala lembaga, dan kepala daerah bisa menjadi pebisnis dan tidak ada aturan conflict of interest-nya. Sayangnya, tidak ada yang bergerak membuat perbaikannya,” kata Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, dalam jumpa pers peluncuran "Corruption Perceptions Index 2022" di Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Menurut Pahala, KPK juga mempunyai catatan tentang tingginya korupsi dalam sektor politik serta keterlibatan politikus dalam melakukan tindak pidana rasuah.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 Merosot 4 Poin Jadi 34
Menurut Pahala, saat ini sudah lazim seorang pengusaha bisa menjadi seorang politikus atau kepala daerah dan ujungnya menimbulkan benturan kepentingan.
Maka dari itu seharusnya pemerintah dan legislatif membuat terobosan aturan sebagai jalan keluar.
Pahala mengatakan, dari hasil kajian KPK ditemukan salah satu permasalahan utama korupsi yang merajalela dalam sektor politik di Indonesia adalah karena minimnya pendanaan bagi partai politik oleh negara.
Dia menyampaikan, KPK telah berupaya setengah mati mengusulkan agar partai politik diperkuat dengan menambah dana bantuan dari pemerintah.
Baca juga: Skor Indeks Persepsi Korupsi Anjlok, Demokrasi Indonesia dalam Masalah Serius
“KPK telah seringkali mendorong penambahan anggaran parpol agar lebih mandiri. Sehingga pemerintah bisa meminta pertanggungjawaban laporan keterbukaan dari setiap parpol,” ujar Pahala.
KPK, kata Pahala, memang mendorong agar dana bantuan parpol yang lolos di parlemen dinaikkan dari Rp 1.000 per suara sah yang diperoleh di tingkat pusat menjadi Rp 3.000 per suara.
Pahala mengakui bahwa ketika dana parpol ditambah, tidak ada jaminan mereka tidak melakukan korupsi. Namun demikian, kata Pahala, setidaknya telah ada upaya logis.
Kader-kader partai yang duduk di pemerintahan maupun di DPR juga bisa dimintai pertanggungjawaban.
Baca juga: Indeks Korupsi Indonesia Turun, KPK: Harus Lakukan Terobosan
“Kalau parpol itu kuat baru dia kenakan sanksi, kalau dia tak terbuka misalnya,” tutur Pahala.
Menurut Pahala, penurunan IPK Indonesia pada 2022 harus menjadi perhatian pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Upaya perbaikan bersama yang kolaboratif dan akseleratif diharapkan bisa menjadi komitmen dan terobosan baru dalam pemberantasan korupsi ke depannya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.