Pertama, secara kultur, budaya patuh pada komandan adalah suatu tradisi yang sudah kuat mengakar di tubuh Polri, bahkan seolah menjadi doktrin sebagaimana di militer, sehingga menolak perintah atasan yang tidak sesuai ketentuan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Hal ini tampak dalam beberapa kasus, misalnya kasus narkoba Teddy Minahasa dan anak buahnya.
Di sisi lain hal itu bukan dialami oleh Eliezer saja, tetapi hingga puluhan perwira bahkan hingga perwira tinggi senior. Brigjen Hendra Kurniawan cs juga bernasib sama dengan Eliezer.
Kedua, dari sisi struktur dan edukasi, Eliezer adalah seorang polisi strata paling rendah yaitu tamtama berpangkat bharada didikan Pusdik Brimob Watukosek, yang jelas lebih kuat didikan fisik, kedisiplinan, dan kepatuhannya pada atasan dibandingkan didikan tentang regulasi.
Selain itu, dia baru menjadi polisi tahun 2020. Artinya, hingga peristiwa penembakan terjadi dia baru dua tahun menjadi polisi, itu pun selalu berkutat di medan konflik seperti di Papua dan Poso. Maka, tidak aneh jika selalu terkondisi doktrinasi kedisiplinan dan kepatuhan tingkat tinggi pada atasannya.
Jika kumpulan perwira tinggi berpendidikan akademi dan lama berkarir termasuk di bidang penegakan hukum sebagaimana Hendra Kurniawan cs saja sulit keluar dari jerat perintah Sambo, apalagi seorang Eliezer.
Ketiga, secara psikologis Eliezer tentu juga dalam posisi tertekan saat itu, setidaknya karena dua hal:
Jangan pula dibandingkan dengan Hendra Kurniawan cs yang jelas punya power, jaringan, waktu dan ruang konsolidasi dengan puluhan anggota lain sebelum memutuskan akan ikut perintah Sambo atau tidak.
Keempat, secara struktural Sambo adalah “polisinya polisi”, Kadivpropam yang juga merangkap sebagai Kasatgassus Merah Putih ketika itu. Kekuasaannya bahkan memungkinkan dia untuk melakukan penyelidikan yang bahkan bisa menjangkau atasannya sendiri, misalnya dalam kasus Ismail Bolong.
Bahkan dalam posisi sudah dipecat dari kepolisian saja, jaringan Sambo, sebagaimana statement Menkopulhukham Mahfud MD, masih ada yang bergerilya ke berbagai pihak termasuk kejaksaan untuk membantu dirinya. Lalu bagaimana Eliezer seorang polisi berpangkat terendah mau melawan perintahnya?
Kelima, secara regulasi anggota yang menolak perintah atasan yang melanggar norma sebagaimana diatur dalam Perpol 7/2022 berkewajiban melaporkan kepada atasan pemberi perintah. Pertanyaannya, apakah Eliezer cukup punya kapasitas untuk melakukannya? Apakah ada jaminan dia tidak akan diterkam balik karena dianggap fitnah, apalagi jika itu baru rencana dan perintah, peristiwanya belum terjadi?
Sebagai pembanding dalam kondisi skenarionya sudah terbongkar, sidangnya disiarkan dan terus dipantau Menkopolhukham, sudah menjadi sorotan publik bahkan hingga ditriger oleh Presiden Joko Widodo saja, hakim dan Jaksa masih kesulitan mengulik keterangan Sambo cs yang tampak begitu kompak.
Berdasarkan paparan di atas, rasanya musykil bagi seorang Eliezer untuk berkelit menolak perintah Sambo. Jika kita berada dalam posisi Eliezer pun tampaknya masyoritas akan sulit untuk melawan. Opsi yang tersedia seolah hanya “patuh atau runtuh”.
Poin berikutnya yang tampaknya dijadikan pembanding yang memberatkan Eliezer di mata jaksa adalah terkait keberanian Ricky Rizal menolak perintah Sambo. Memang harus diakui, keberanian Ricky menolak perintah Sambo menembak Joshua, harus diapresiasi sebagai peringan tuntutan.
Akan tetapi, menempatkan penolakan Ricky sebagai pembanding untuk menyudutkan Eliezer tanpa pertimbangan komprehensif adalah hal yang tidak proporsional. Pertama, Ricky merupakan orang lamanya Sambo yang sudah kenal sejak tahun 2013 saat tugas di Polres Brebes. Ricky bahkan kemudian diminta secara khusus oleh Sambo ke Jakarta saat Sambo jadi Kadivpropam, sehingga jelas mereka lebih paham dan mengetahui celah karakter masing-masing.
Kedua, Ricky sudah paham ada kisruh sejak di Magelang sehingga ada waktu lebih untuk berpikir dan menyikapi keadaaan.