Salin Artikel

Polemik Tuntutan dan Anatomi Kepatuhan dalam Kasus Sambo

Jaksa menuntut Ferdy Sambo, selaku otak dan pelaku pembunuhan, dipenjara seumur hidup. Sementara Putri Chandrawati (istri Sambo), Kuat Ma’ruf (sopir), dan Ricky Rizal (ajudan) yang dianggap terlibat dalam perencanaan dan eksekusi dituntut masing-masing delapan tahun penjara. Sedangkan Richard Eliezer (ajudan) selaku eksekutor awal penembakan dan berstatus justice collaborator (JC) dalam kasus ini dituntut 12 tahun penjara.

Meski baru tahap tuntutan jaksa dan belum menjadi putusan hakim, namun polemik sudah menyeruak di publik. Kubu Eliezer, kubu Joshua, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kecewa dengan tuntutan tersebut.

Jika dianalisa, baik melalui komentar di pemberitaan media massa ataupun media sosial, mayoritas publik juga tampak keberatan dengan tuntutan yang ditujukan terhadap Eliezer, yaitu 12 tahun penjara. Dengan tuntutan itu terkesan posisi sebagai JC yang berjasa membuka tabir kasus tersebut menjadi kurang berarti.

Apalagi jika dibandingkan dengan tuntutan terhadap Putri Chandrawati yang “hanya” delapan tahun penjara. Padahal dalam dakwaan jaksa, Putri Chandrawati justru menjadi aktor pemicu karena mengarang cerita pelecehan seksual, dan ikut terlibat aktif dalam perencanaan pembunuhan.

Dalam konteks pertimbangan hukum dan segenap kalkulasinya barangkali sudah banyak tokoh ataupun akademisi di bidang hukum yang sudah mengupas, sehingga penulis akan lebih menguraikan polemik kasus ini utamanya dalam kacamata kajian kepolisian.

Tampaknya ada dua alasan jaksa mengabaikan aspek perintah ini. Pertama, terkait aturan legal formal. Kedua, perbandingan dengan Ricky Rizal, terdakwa lain yang menolak perintah menembak.

Jika merujuk pada dakwaan dan tuntutan, tampaknya jaksa mengesampingkan aspek “perintah” sehingga tetap menuntut Eliezer di atas para terdakwa lain, di luar Ferdy Sambo sebagai intelektual dader dalam kasus itu.

Jika merujuk pada aspek legal formal semata memang apa yang dilakukan jaksa tampaknya beralasan karena jika dilihat dari peraturan yang ada, anggota polisi memang harus menolak perintah atasan jika bertentangan dengan norma hukum, agama, dan susila.

Misalnya dalam Perkap Nomor14 Tahun 2011 Tentang kode Etik Profesi Polri (KEPP) terkait Etika Kelembagaan Pasal 7 ayat (3) huruf b, setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib melaksanakan perintah atasan terkait dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangannya. Akan tetapi dalam pasal 7 ayat 3 huruf c, dikatakan, setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.

Ketentuan itu  diperbaharui dengan terbitnya Perpol No 7/2022 yang juga mengatur tentang kode etik anggota Polri, subtansi isinya hampir sama, misalnya dalam Pasal 6 yang terdiri dari 3 ayat mengatur kewajiban anggota Polri sebagai atasan, bawahan, dan atasan pemberi perintah.

Kewajiban sebagai bawahan diatur dalam Pasal 6 ayat 2 yang terdiri dari tiga poin. Berikut adalah tiga kewajiban bawahan:

  1. Melaksanakan perintah atasan terkait dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya dan melaporkan kepada atasan.
  2. Menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.
  3. Melaporkan kepada atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari atasan pemberi perintah.

Dengan demikian keputusan jaksa mengabaikan aspek perintah itu, secara tekstual tampak cukup beralasan.

Persoalannya apakah “penolakan” di sini sesederhana dan seringan yang tertulis dalam teks? Untuk menjawabnya, tampaknya kita juga harus meninjau dari beberapa aspek.

Pertama, secara kultur, budaya patuh pada komandan adalah suatu tradisi yang sudah kuat mengakar di tubuh Polri, bahkan seolah menjadi doktrin sebagaimana di militer, sehingga menolak perintah atasan yang tidak sesuai ketentuan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Hal ini tampak dalam beberapa kasus, misalnya kasus narkoba Teddy Minahasa dan anak buahnya.

Di sisi lain hal itu bukan dialami oleh Eliezer saja, tetapi hingga puluhan perwira bahkan hingga perwira tinggi senior. Brigjen Hendra Kurniawan cs juga bernasib sama dengan Eliezer.

Kedua, dari sisi struktur dan edukasi, Eliezer adalah seorang polisi strata paling rendah yaitu tamtama berpangkat bharada didikan Pusdik Brimob Watukosek, yang jelas lebih kuat didikan fisik, kedisiplinan, dan kepatuhannya pada atasan dibandingkan didikan tentang regulasi.

Selain itu, dia baru menjadi polisi tahun 2020. Artinya, hingga peristiwa penembakan terjadi dia baru dua tahun menjadi polisi, itu pun selalu berkutat di medan konflik seperti di Papua dan Poso. Maka,  tidak aneh jika selalu terkondisi doktrinasi kedisiplinan dan kepatuhan tingkat tinggi pada atasannya.

Jika kumpulan perwira tinggi berpendidikan akademi dan lama berkarir termasuk di bidang penegakan hukum sebagaimana Hendra Kurniawan cs saja sulit keluar dari jerat perintah Sambo, apalagi seorang Eliezer.

Ketiga, secara psikologis Eliezer tentu juga dalam posisi tertekan saat itu, setidaknya karena dua hal:

  1. Jika seorang Joshua yang dia ketahui sudah lama mengabdi pada keluarga Sambo dan diketahui sudah begitu dekat dengan seluruh keluarga Sambo saja akan dibunuh dengan suatu alasan yang belum jelas, apalagi dirinya, orang baru dan bukan siapa-siapa bagi Sambo. 
  2. Ketika diberi perintah, Eliezer nyaris tidak ada waktu berpikir dan membaca keadaan. Hal ini tentunya berbeda dengan Ricky Rizal yang karena kedekatan lamanya dengan semua pihak yang terlibat, tentunya sudah lebih dulu membaca keadaan bahkan sempat bertanya langsung dengan Joshua sejak ada keributan di Magelang.

Jangan pula dibandingkan dengan Hendra Kurniawan cs yang jelas punya power, jaringan, waktu dan ruang konsolidasi dengan puluhan anggota lain sebelum memutuskan akan ikut perintah Sambo atau tidak.

Keempat, secara struktural Sambo adalah “polisinya polisi”, Kadivpropam yang juga merangkap sebagai Kasatgassus Merah Putih ketika itu. Kekuasaannya bahkan memungkinkan dia untuk melakukan penyelidikan yang bahkan bisa menjangkau atasannya sendiri, misalnya dalam kasus Ismail Bolong.

Bahkan dalam posisi sudah dipecat dari kepolisian saja, jaringan Sambo, sebagaimana statement Menkopulhukham Mahfud MD, masih ada yang bergerilya ke berbagai pihak termasuk kejaksaan untuk membantu dirinya. Lalu bagaimana Eliezer seorang polisi berpangkat terendah mau melawan perintahnya?

Kelima, secara regulasi anggota yang menolak perintah atasan yang melanggar norma sebagaimana diatur dalam Perpol 7/2022 berkewajiban melaporkan kepada atasan pemberi perintah. Pertanyaannya, apakah Eliezer cukup punya kapasitas untuk melakukannya? Apakah ada jaminan dia tidak akan diterkam balik karena dianggap fitnah, apalagi jika itu baru rencana dan perintah, peristiwanya belum terjadi?

Sebagai pembanding dalam kondisi skenarionya sudah terbongkar, sidangnya disiarkan dan terus dipantau Menkopolhukham, sudah menjadi sorotan publik bahkan hingga ditriger oleh Presiden Joko Widodo saja, hakim dan Jaksa masih kesulitan mengulik keterangan Sambo cs yang tampak begitu kompak.

Berdasarkan paparan di atas, rasanya musykil bagi seorang Eliezer untuk berkelit menolak perintah Sambo. Jika kita berada dalam posisi Eliezer pun tampaknya masyoritas akan sulit untuk melawan. Opsi yang tersedia seolah hanya “patuh atau runtuh”.

Akan tetapi, menempatkan penolakan Ricky sebagai pembanding untuk menyudutkan Eliezer tanpa pertimbangan komprehensif adalah hal yang tidak proporsional. Pertama, Ricky merupakan orang lamanya Sambo yang sudah kenal sejak tahun 2013 saat tugas di Polres Brebes. Ricky bahkan kemudian diminta secara khusus oleh Sambo ke Jakarta saat Sambo jadi Kadivpropam, sehingga jelas mereka lebih paham dan mengetahui celah karakter masing-masing.

Kedua, Ricky sudah paham ada kisruh sejak di Magelang sehingga ada waktu lebih untuk berpikir dan menyikapi keadaaan.

Ketiga, Ricky dipanggil lebih dahulu oleh Sambo sehingga ada kemungkinan Ricky berpikir masih ada alternative lain jika dia menolak sehingga Sambo tidak langsung marah.

Keempat, Eliezer dipanggil setelah Ricky dan melalui Ricky tapi tidak diberitahu dalam rangka apa dan bagaimana sikap Ricky, sehingga ada kemungkinan Eliezer berpikir Ricky yang dipanggil sebelumnya juga sudah menyetujui perintah Sambo.

Kelima, Ricky berteman dengan almarhum Joshua jauh lebih lama dibandingkan Eliezer, sehingga otomatis muncul rasa tidak tega yang lebih besar.

Keenam, jika merujuk pada regulasi, seharusnya Ricky juga melapor kepada atasan Sambo, karena ada perintah dari Sambo melakukan pembunuhan tapi itu tidak dilakukan Ricky.

Simalakama

Lepas dari alasan dan pertimbangan apapun, Eliezer tetap bersalah karena ikut menembak. Untuk bebas dari hukuman jelas sangat sulit. Akan tetapi setidaknya ada pertimbangan yang lebih komprehensif dari hakim dalam memutuskan nanti, sehingga mencerminkan rasa keadilan dibenak publik.

Jika menilik latar belakang, Eliezer maupun Ricky adalah polisi muda yang dikenal baik dilingkungannya. Namun mereka kurang beruntung berada dalam lingkup dan momentum dilematis yang membuat mereka terjebak dalam situasi dilematis bagai makan buah simalakama dan akhirnya membuat keputusan yang salah.

Disisi lain, sebenarnya masih ada hal-hal lain yang penting dikritisi lebih lanjut, misalnya tentang posisi “justice collaborator” yang seolah dinafikan oleh jaksa, kemudian perbandingan tuntutan antara Eliezer dengan Putri Chandrawati. Akan tetapi karena perlu analisis mendalam tampaknya perlu kajian dan kolom tersendiri.

Kita doakan semoga hakim membuat keputusan yang independen dan mencerminkan keadilan di mata publik.

https://nasional.kompas.com/read/2023/01/25/12175081/polemik-tuntutan-dan-anatomi-kepatuhan-dalam-kasus-sambo

Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke