Jabatan yang terlalu lama dapat melanggengkan oligarki kekuasaan. Sehingga tuntutan untuk menambah masa jabatan seorang kepala desa menjadi hal yang berbahaya, dan bertendesi politis agar dapat memengaruhi keputusan politik di puncak kakuasaan.
Jabatan kepala desa selama 6 tahun sudah strategis, untuk membangun daerah, dengan segala konsekuensinya. Masa jabatan yang lima tahun saja masih menyisakan residu-residu politik di masyarakat, apalagi risikonya jika sampai ditambah menjadi sembilan tahun.
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR.
Aksi tersebut dipicu permintaan mereka untuk memperpanjang masa jabatan untuk kepala desa menjadi 9 tahun, sebelumnya dalam Undang-Undang Desa dibatasi 6 tahun.
Karena itu, masa meminta DPR melakukan revisi terbatas Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 39.
Merujuk pada poin permintaan dari para kades yang dilayangkan kepada DPR meliputi; Pertama, meminta dikembalikannya kewenangan mengurus dana desa dan yang menjadi hak preogratif kepala desa.
Dasarnya, selama ini mereka terkekang dan tidak leluasa menjalankan tugas dan fungsinya karena terganjal dengan aturan-aturan yang dianggap tidak memberikan keleluasaan untuk mengurusi wilayahnya sendiri.
Kedua, para kepala desa menginginkan agar masa jabatan saat ini, yaitu 6 tahun ditambah 3 tahun menjadi 9 tahun.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mendukung penuh tuntutan para kepala desa terkait penambahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun.
Dasar pertimbangannya periodisasi tersebut bukan menjadi arogansi kepala desa, namun menjawab kebutuhan untuk menyelesaikan ketegangan pasca-Pilkades.
Mempertimbangkan kondusifitas hubungan antar warga di desa selama pasca-Pilkades hingga menjelang Pilkades berikutnya. Dan dipilihnya angka sembilan tahun merupakan bentuk perjuangan revisi masa jabatan kades dari 6 tahun dalam satu periode.
Namun yang menarik adalah dalam polemik wacana tersebut, menurut keterangan politikus Budiman Sudjatmiko, Presiden Jokowi memanggilnya untuk meminta keterangan terkait demonstrasi para kades di DPR.
Dan setelah mendengar keterangan darinya, presiden setuju soal perpanjangan masa jabatan kades jadi 9 tahun.
Tentu saja fakta ini semakin membuat peristiwa ini menjadi menarik. Apalagi alasan perpanjangan tersebut karena pemilihan kades membuat polarisasi-persaingan politik di tingkat desa cukup berkepanjangan sehingga dengan memperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun, maka diharapkan pembangunan desa menjadi lebih maksimal.
Polarisasi yang dimaksud adalah persaingan politik para pihak yang tadinya bekerja sama dengan kepala desa malah jadi tidak mau bekerja sama ketika sudah mendekati masa pergantian kepala desa.
Benarkah demikian? Jika itu persoalannya, bukankah perbaikan sistem pemilihan kadesnya saja yang diperbaiki, bukan justru pada persoalan perpanjangan masa jabatan.
Selain sarat dengan kepentingan terkait dana desa, ini juga bersangkut paut dengan situasi politik saat ini.
Peneliti Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Sunaji Zamroni menyebut bahwa hal itu tidak masuk akal dan hanya kompromi para politikus saja.
Apalagi jika alasan perpanjangan untuk meminimalisasi anggaran pemilihan dan meredam isu konflik pasca-pemilu kades, maka waktu enam tahun seharusnya cukup.
Namun jika ganjalannya soal anggaran, hal itu sangat teknis dan lebih mudah untuk dicarikan solusinya.
Dan jika persoalannya terkait tuntutan mengurus kepentingan masyarakat dan menunaikan janji-janji kampanye, waktu enam tahun sudah sangat memadai untuk membangun dan memajukan desa.
Apalagi jika ganjalannya soal jeda waktu agar resolusi kampanye pascapemilu kades mestinya enam tahun itu juga cukup.