Bayangkan saja jika hakim dapat membongkar motif lainnya. Seperti kita saksikan dalam persidangan, banyak fakta-fakta yang “tercecer” akibat Obstruction of Justice. Termasuk temuan bukti-bukti yang sangat kredibel dan layak dijadikan pembuka tabir, tapi justru ditolak oleh pihak penyidik Polri.
Dalam persidangan yang terus berlangsung, para pihak yang terlibat sebagai terdakwa dan JC masing-masing menghadirkan para saksi ahli untuk berargumentasi dan saling mengkonfrontir dakwaan. Dalam situasi tersebut banyak berlangsung “drama”.
Terdakwa yang menggunakan tangisan, sikap seolah-olah pasrah dan bertanggungjawab, berpura-pura tidak tahu atau lupa.
Dan sepanjang berlangsungnya persidangan, setidaknya mulai menghasilkan efek psikologis berupa dukungan publik yang terbelah.
Sikap seolah menjadi “introvert” menyebabkan timbulnya rasa kasihan. Apalagi kecenderungan berdasarkan logika, orang yang ekstrovert (terbuka), cenderung lebih berpeluang menjadi pelaku daripada yang introvert (tertutup).
Semestinya kita harus melihat lebih jernih dari sisi psikologis dan hukum, ketika memotret kepribadian seseorang, akan lebih baik jika melihatnya dari sisi perilaku dan kesesuaian pasal. Terutama menjelang dan saat terjadinya pembunuhan.
Perilaku terdakwa pembunuh bisa ditakar, karena sebagai petinggi Polri setingkat Kadiv Propam, mestinya dapat berpikir lebih terkontrol, mengingat kapasitasnya.
Ketika sampai pada keputusan untuk memerintahkan membunuh atau sama-sama menjadi pelaku pembunuhan saja, hal itu sudah menjadi keputusan sepihak yang tidak sejalan dengan prosedur hukum yang notebene sangat dipahami konsekuensinya oleh Sambo sebagai “kepalanya para pengadil polisi jahat”.
Sebagaimana dinyatakan oleh Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri yang menggunakan istilah “Filosofi Penghukuman”, untuk sampai pada keputusan pasal 340. Artinya by default setuju pada retributive, untuk hukuman 340.
Kecuali jika ada pemaafan, barulah melunak pada re-integratif. Namun intinya harus dimulai dari Retributif, bukan sebaliknya. Restorative Justice—re integrative lantas baru menuju Retributif.
Reza juga merujuk pada apa yang ia pahami sebagaimana berlaku dalam hukum Islam yang tidak tunggal hanya Retributif belaka. Tapi, Retributif-reintegratif dan restorative justice. Karena dalam Islam juga disebutkan dalam Al Qur’an, “jika kamu memaafkan, maka itu lebih baik!”
Hingga saat ini, kesaksian dan keberadaan bukti-bukti pendukung sudah semakin mengerucut. Barangkali hakim tengah menimbang-nimbang soal “klaster” masing-masing terdakwa antara Pasal 338 dan 340 KUHP.
Berbeda dari kasus OJ Simson, dalam kasus ini Obstruction of Justice-nya sangat luar biasa untuk menyeret Sambo dkk ke 340.
Semoga keadilan kali ini berpihak pada kita semua, ketika para hakim memutuskan berdasarkan hati terdalam, realistis sesuai dengan keyakinan dan dukungan kesaksian dan bukti-bukti yang ada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.