Meskipun harus kita akui, pernyataan hakim yang emosional dalam persidangan itu, seolah menyimpulkan dan menyudutkan terdakwa atas satu pandangan yang mudah sekali dipahami oleh publik yang melihat langsung persidangan tersebut.
Jika merujuk pada argumentasi Olivier Hamel, dalam buku Justice for Hedgehogs oleh Ronald Dworkin’s, bahwa cara melihat perkara kejahatan haruslah melalui hati terdalam.
Fakta-fakta persidangan, baik barang bukti maupun keterangan para saksi semakin menguatkan adanya tindakan pelanggaran hukum Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Namun, banyak pengamat hukum tak berani menyimpulkan pada keputusan 340, pasal pembunuhan berencana yang konsekuensi hukumannya 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Meskipun rerata secara normatif sudah satu arah dengan hakim, dengan track record penanganan kasus hukum di Indonesia, bisa saja para hakim tiba-tiba banting stir dengan pandangan hukumnya!
Hingga saat ini hakim telah berjalan di rel yang searah dengan banyak harapan publik soal keadilan. Saat ini hakim sedang memeriksa satu per satu terdakwa untuk bisa memutuskan jenis konsekuensi berat dan ringan hukuman bagi masing-masing (klaster) terdakwa sesuai dengan peran.
Sebagai gambaran dalam psikologi forensik, pelaku kejahatan meliputi 4 klasifikasi;
Pertama: pelaku yang berkonfrontasi langsung (direct) membunuh korban.
Kedua; pelaku yang tidak berkonfrontasi langsung dengan korban, namun menjadi aktor intelektual. Ketiga; tidak terkonfrontasi langsung dengan korban, tidak memiliki desain, tanpa dukungan fasilitas, namun membantu menyediakan senjata, sarung tangan sebagai dukungan bagi aksi kejahatan.
Keempat, pelaku yang tidak terkonfrontasi langsung, tapi membantu misi Obstruction of Justice (penghilangan barang bukti).
Dalam kasus OJ Simpson yang kontroversial, awalnya didakwa sebagai pelaku pembunuh istrinya sendiri Nicole Brown Simson dan temannya Ronald Goldman pada 1994.
Namun keputusannya menyewa pengacara ternama, selanjutnya menyajikan alat bukti, dan fakta-fakta pendukung, pada akhirnya ia divonis bebas.
Namun dalam kebebasannya itu, publik di Amerika Serikat masih tetap berkeyakinan bahwa OJ Simpson adalah pelaku pembunuh istrinya sendiri.
OJ Simpson melakukan “Relabeling”, memosisikan secara sejajar yang lebih menguasai jalannya persidangan. Jika awalnya didakwa sebagai pelaku, berikutnya ia justru berada di posisi sebagai korban.
Sementara dalam kasus Sambo dan Putri, “isu pelecehan dan perselingkuhan”, diberi nama baru dan narasi baru, “kejahatan seksual”.
Karena motif “perselingkuhan” dan “pelecehan” itu menimbulkan spekulasi terjadinya re-labeling, karena menjadi satu-satunya alasan paling masuk akal untuk bisa “mengurangi” tekanan hukuman yang akan diterima Sambo Cs.