Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pimpinan Komisi II Nilai Sistem Proporsional Tertutup Disenangi Partai yang Punya Tradisi Otoriter

Kompas.com - 04/01/2023, 12:08 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin menilai bahwa sistem pemilu proporsional tertutup pasti disenangi oleh partai bertipe sedikit otoriter.

Ia pun mengingatkan bagaimana sistem tersebut digunakan sepanjang pemilu zaman Orde Baru.

"Bagi partai politik yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem ini lebih disukai," kata Yanuar dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023).

Ia khawatir, sistem proporsional tertutup juga dimanfaatkan oleh kader partai politik yang berjiwa oportunis, elitis dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Tumbuhkan Oligarki Politik

Sistem seperti itu, lanjut dia, menjadi peluang karier terbesar untuk kader partai politik dengan karakter tersebut.

Di sisi lain, sistem proporsional tertutup juga dinilai telah menghasilkan oligarki di dalam partai di masa lalu.

"Tertutupnya kompetisi antara sesama kader. Juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah," imbuh dia.

Politisi PKB ini menambahkan, jika ada pihak yang mengusulkan sistem proporsional tertutup, semua boleh menyebut mereka ingin membawa musibah dan kecelakaan dalam demokrasi.

Apalagi, lanjut Yanuar, jika Mahkamah Konstitusi (MK) turut melegalisasi sistem tertutup tersebut.

"Maka berarti Mahkamah Konstitusi sudah terjebak dalam konspirasi ini," lanjutnya.

Oleh karena itu, Yanuar meminta tak ada satu pihak pun yang bermain-main dengan sistem kepemiluan yang sudah ada di Indonesia.

Ia tak ingin, kegairahan dan partisipasi politik rakyat yang sudah terjadi melalui sistem pemilu proporsional terbuka, hilang karena sistem tertutup.

Baca juga: 8 Fraksi DPR Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Kecuali PDI-P

"Kita semua sudah berinvestasi besar untuk menumbuhkan kegairahan dan partisipasi politik rakyat, memperkuat hubungan timbal balik antara rakyat dan wakilnya, serta membangun budaya kompetisi yang masih terukur," jelasnya.

"Oligarki politik relatif mendapatkan hambatan untuk tumbuh melalui sistem proporsional terbuka ini," pungkas Yanuar.

Sebagai informasi, belakangan, politik nasional tengah dihebohkan dengan wacana mengembalikan sistem proporsional tertutup untuk Pemilihan Legislatif (Pileg).

Adapun judicial review atau uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah diajukan ke MK.

Baca juga: PKS Nilai Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Terlambat Disampaikan

Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Adapun gugatan uji materi terhadap sistem pemilu teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.

Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Nasional
Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Nasional
Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Nasional
Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Nasional
Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Nasional
Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Nasional
Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Nasional
KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Nasional
195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

Nasional
Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com