JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadwalkan sidang untuk perkara gugatan uji materi terhadap sistem pemilu terbuka.
Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Sabtu (31/12/2022) sidang dijadwalkan pada 17 Januari 2023.
Agenda sidang mendatang yakni mendengarkan keterangan dari Presiden, Dewan Perwakikan Rakyat (DPR) dan pihak terkait.
Baca juga: Kritisi Gugatan Sistem Pemilu ke MK, Nusron Wahid: Sudah Pernah Diputuskan, Kok Diajukan Lagi?
Adapun gugatan uji materi terhadap sistem pemilu ini telah teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V) dan Nono Marijono (pemohon VI).
Keenamnya didampingi oleh Sururudin dan Maftukhan selaku kuasa hukum.
Keenam pemohon mengajukan gugatan atas pasal 168 ayat (2) Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Baca juga: Mengenal Ragam Sistem Pemilu Legislatif dan Senator di Dunia
Pemohon meminta kepada MK agar mengganti sistem proporsional terbuka menjadi tertutup.
Para pemohon menilai bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang.
Sebelumnya, politisi Partai Golkar Nusron Wahid mengkritisi gugatan uji materi tersebut.
Pasalnya, sebelumnya aturan soal sistem proporsional terbuka sudah pernah digugat dan diputuskan oleh MK.
“Tata cara JR di MK itu seperti apa? Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, bisa digugat lagi di lain waktu. Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim,” ujar Nusron dalam keterangan tertulisnya yang dilansir pada Sabtu.
Baca juga: Deretan Dapil DPR-DPRD Provinsi yang Dipersoalkan Perludem dan Dikabulkan MK
Menurut dia, setelah diputus dan disahkan oleh MK, maka hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final.
Meski dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, Nusron berpendapat jika keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.
“Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan dan diputuskan oleh MK itu di kemudian hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk mengugatnya lagi di kemudian hari. Sehingga dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," kata Nusron.
Sehingga menurut dia gugatan ini sudah sepantasnya ditolak atau diabaikan oleh MK.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.