JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Golkar Nusron Wahid mengkritisi gugatan uji materi yang diajukan sejumlah politisi terhadap Pasal 168 ayat 2 Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materi ini mempersoalkan aturan sistem proporsional terbuka dalam pemilu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“Tata cara JR di MK itu seperti apa? Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, bisa digugat lagi di lain waktu? Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan individu hakim,” ujar Nusron dalam keterangan tertulisnya yang dilansir pada Sabtu (31/12/2022).
Menurutnya setelah diputus dan disahkan oleh MK, hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final.
Baca juga: KPU Bantah Dorong Sistem Proporsional Tertutup untuk Pemilu 2024
Meski dalam pengambilan keputusan dilakukan individu hakim yang berbeda, Nusron berpendapat keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.
“Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan dan diputuskan oleh MK itu di kemudian hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk mengugatnya lagi di kemudian hari. Sehingga dapat merusak legitimasi hukum di Indonesia," jelasnya.
Dengan demikian menurutnya gugatan ini sudah sepantasnya ditolak atau diabaikan oleh MK.
Nusron menilai, jika MK tetap menerima dan memprosesnya, maka bisa mempengaruhi kredibilitasnya sendiri.
Menurut Nusron gugatan ke MK ini bukan seperti gugatan kasus perdata dan pidana yang sudah diputuskan Mahkamah Agung yang jika ada novum atau bukti baru keputusan bisa berubah.
Baca juga: Ini Alasan PDI-P, Dukung Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup
"Tapi ini review atau suatu UU sesuai atau tidak dengan konstitusi UIUD. Oleh MK susah diputuskan. Jadi ini masalah tafsiran dan keputusan di mana MK sudah memutuskan. Kok diajukan lagi. Ini ada apa?" ungkapnya.
Nusron juga mengingatkan kepada MK agar jangan sampai ada kesan MK dapat ditekan atau dipengaruhi oleh kekuatan politik tertentu yang getol dan sering mengusung sistem pemilu proporsional tertutup.
"Kecuali MK belum pernah ambil keputusan. Bisa jadi memang tidak ada tekanan dan pengaruh politik. Tapi karena sudah ada keputusan, kalau kemudian berubah tampak ada sentimen kepentingan," tegasnya.
Dia lantas menjelaskan sebuah asas hukum bahwa negara harus menghormati proses dan hasil pengadilan sebelumnya untuk tujuan menjaga kepastian hukum.
Masalah ini sudah ada dalam UU MK Pasal 69 ayat 1 dan 2. Dalam UU MK disebutkan Pasal 60 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Lalu pada ayat 2, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.