Sebelum PPKM diterapkan, pemerintah memutuskan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal itu dilakukan setelah Presiden Indonesia, Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB pada 31 Maret 2020.
PSBB kemudian diterapkan di sejumlah provinsi yang mempunyai potensi penyebaran Covid-19 yang tinggi karena jumlah penduduknya banyak dan persentase pelaju besar.
Baca juga: Jokowi Wacanakan PPKM Berhenti Akhir Tahun, Sultan HB X Khawatir dengan Lansia
Saat PSBB diterapkan di sejumlah wilayah, pemerintah meliburkan kegiatan belajar mengajar tatap muka di lembaga pendidikan, membatasi jumlah penumpang dan jam operasional moda transportasi umum, pembatasan penggunaan fasilitas umum, hingga menganjurkan kegiatan perkantoran dilakukan dari rumah.
Pemerintah kemudian mengganti kebijakan PSBB dalam menanggulangi Covid-19 menjadi PPKM buat mencakup seluruh provinsi.
Kebijakan PPKM pertama kali diterapkan pada 11 sampai 25 Januari 2021 di tujuh 7 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Seiring berjalannya waktu serta menyesuaikan keadaan dari masing-masing wilayah di Indonesia, PPKM dilakukan secara berkelanjutan mulai dari Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, hingga skala nasional.
Istilah-istilah PPKM pun mulai bermunculan dari yang semula PPKM Jilid Pertama kemudian beralih menjadi PPKM Jilid Kedua, PPKM berbasis Mikro hingga PPKM Darurat.
Baca juga: Kemenkes: PPKM Dicabut Bukan Berarti Covid-19 Tak Ada
Dari istilah tersebut, masing-masing PPKM terdapat parameter pembeda yang dirincikan sehingga dapat menjadi acuan pengendalian wilayah dalam membatasi kegiatan masyarakat.
PPKM yang paling berdampak terhadap UMKM dan masyarakat kecil adalah PPKM Darurat yang berlaku pada 3 Juli - 25 Juli 2021.
Target pemerintah saat menerapkan PPKM Darurat adalah menurunkan penambahan kasus harian hingga di bawah 10 ribu kasus per harinya. Maka dari itu aturan pembatasan yang diterapkan bagi masyarakat juga semakin ketat.
Adapun pengetatan yang diberlakukan antara lain pada pusat perbelanjaan/mal/pusat perdagangan harus ditutup, restoran dan rumah makan tidak menerima makan di tempat, kemudian tempat ibadah tidak diizinkan menyelenggarakan ibadah secara berjamaah, dan lain-lain.
Adanya kebijakan pengetatan pada saat PPKM Darurat tentunya berdampak pada kondisi ekonomi.
Baca juga: Komisi IX DPR RI Minta Pemerintah Pertimbangkan Pencabutan Status PPKM
Pada 21 Juli 2021, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengumumkan istilah baru terkait mekanisme PPKM dengan skala tingkat pertama hingga keempat (Level I - IV).
Pemerintah memutuskan suatu wilayah dapat memberlakukan PPKM antara level I - IV dengan tolok ukurnya berdasarkan laju penularan serta jumlah kasus aktif Covid-19 di wilayah tersebut.
Semakin tinggi level PPKM maka pengetatan kegiatan masyarakat akan semakin besar, sebaliknya apabila level PPKM semakin menurun maka dapat diperkirakan kasus aktif Covid-19 dan penularannya semakin berkurang sehingga dapat dilonggarkan untuk melakukan aktivitas kembali.
Sejumlah epidemiolog turut menyampaikan pendapat terkait wacana pencabutan PPKM.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai memang sudah saatnya pemerintah mencabut kebijakan PPKM.
Baca juga: Jokowi Sebut Kajian Soal Penghentian PPKM Belum Sampai Meja Kerjanya
Menurut Pandu, PPKM memang lebih baik diakhiri karena seluruh sarana dan prasarana penanganan Covid-19 di Tanah Air dianggap memadai. Salah satu contohnya, kata dia, adalah ketersediaan vaksin.