Negara-negara kaya berpenduduk sedikit sangat mudah goncang, karena produktifitas masyarakatnya tidak beragam dan hanya mengandalkan satu sektor.
Seperti Jepang, Australia, Inggris, Korea Selatan dan berbagai negara lainnya sangat berpotensi mengalami resesi global akibat krisis populasi.
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor 4 di dunia. Berdasarkan rilis Kementerian Dalam Negeri, data terbaru jumlah penduduk Indonesia tercatat tahun 2022 sebanyak 275.361.267 jiwa.
Piramida penduduk Indonesia saat ini didominasi penduduk kategori produktif (usia 15-64 tahun) sebanyak 190.827.224 jiwa atau 69,30 persen.
Untuk penduduk kategori usia muda (0-14 tahun) mengisi sebanyak 67.155.629 jiwa atau 24,39 persen. Sisanya kategori penduduk usia tua (65 tahun ke atas) sebanyak 17.374.414 jiwa atau 6,31 persen.
Artinya, Indonesia selain memiliki populasi banyak di dunia juga memiliki bonus demografi. Yaitu, jumlah penduduk produktif lebih banyak dibandingkan penduduk non produktif (usia muda dan usia tua).
Hal tersebut merupakan berkah. Indonesia bisa selamat dari resesi global jika dikelola dengan benar.
Kuncinya adalah membentuk sumber daya manusia melimpah menjadi produktif. Yaitu bagaimana pemerintah membangun sistem pengelolaan sumber daya manusia agar memiliki penghasilan dan perputaran uang terus bergulir di tengah masyarakat serta mendatangkan devisa buat negara.
Namun akan terjadi sebaliknya bila salah kelola. Kelompok pengangguran membahayakan sosial dan negara. Resesi global akan memporak-porandakan Indonesia.
Salah satu bentuk resesi adalah terjadinya PHK secara besar-besaran dan cadangan devisa menurun drastis. Ini merupakan momok menakutkan bagi pemerintah.
Angka pengangguran akan naik tajam menjadi beban sosial dan negara. Devisa yang kurang akan berdampak krisis moneter.
Di sinilah diberdayakan kekuatan penduduk Indonesia yang melimpah dan produktif untuk merebut bursa kerja migran dunia yang sekarang mengalami krisis ketenagakerjaaan. Peluang ini membuka harapan besar buat Indonesia sebagai solusi selamat dari resesi.
Perlu diketahui, beberapa negara mengalami 'kiamat' tenaga kerja. Mulai dari tetangga Malaysia, Singapura, Australia, Taiwan, Timur Tengah, Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang hingga Inggris mengalami kekurangan ketenagakerjaan.
Berdasarkan riset dari perusahaan konsultan global, Korn Ferry, hingga 2030 diperkirakan ada 85 juta tenaga kerja dibutuhkan dunia.
Hasil riset Randstad pada Mei 2022, merilis bahwa Amerika Serikat tersedia 11 juta lowongan pekerjaan di sektor manufaktur, logistik dan kesehatan.
Sedangkan di Eropa 1,2 juta dan Australia tersedia 400.000 lowongan lapangan pekerjaan yang membutuhkan sumber daya manusia.
Malaysia merilis membutuhkan tenaga kerja 1,2 juta pekerja. Di sektor konstruksi sebanyak 500.000 tenaga kerja, perkebunan sawit butuh 120.000 pekerja, sementara sektor elektronik membutuhkan 30.000 pekerja, dan tenaga medis sebanyak 120.000 pekerja. Belum lagi sektor domestik butuh ratusan ribu orang.
'Kiamat' tenaga kerja di Jepang sangat rentan terjadi. Nomura Research Institute memperkirakan kekurangan tenaga kerja sebanyak 10,47 juta pekerja. Sektor yang paling kekurangan adalah hotel, restoran, dan manufaktur.
Di Taiwan mengalami kekurangan tenaga kerja sebanyak 118.000 pekerja untuk sektor konstruksi dan setidak-tidaknya sekitar 700.000 pekerja dibutuhkan untuk mengisi sektor informal (domestik). Hal ini juga mirip dialami Hongkong dan Singapura.
Melihat besarnya permintaan tenaga kerja di dunia, hal ini sebuah keironisan. Apalagi masyarakat Indonesia masih banyak tidak dapat pekerjaan.
Angka pengangguran sebesar 8,42 juta orang yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) periode Agustus 2022.
Pemerintah seharusnya lincah membuka lapangan kerja buat rakyat, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Apalagi tuntutan kelincah pemerintah menjadi hal urgen di saat resesi dunia akan melanda Indonesia. Pemerintah tidak bisa bekerja secara normatif lagi mendongkrak dunia pekerja migran.