Belum juga reda dengan tindakan keras dan tidak pandang bulu yang dilakukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo usai kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa merebak serta ketidakbecusan polisi mengendalikan kericuhan penonton sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Malang, publik kembali jengah dengan ulah polisi yang satu ini.
Entah menyadari dirinya atau polisi atau memang pernah terlintas keinginan menjadi “pemalak”, empat personel Polsek Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur menangkap Fahrial Muslim (21) warga Kampung Moncong, Kecamatan Jempang atas tuduhan kepemilikan narkotika.
Selain proses penangkapannya menyalahi prosedur, oknum polisi tersebut ternyata melakukan penindakan dengan “mengada-ada”.
Fahrial yang memang tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan narkotika, diperas habis-habisan oleh para polisi begundal tersebut. Ongkos penahanan Fahrial ditarif Rp 10 juta oleh polisi tengik tersebut.
Karena merasa iba dengan penderitaan Fahrial yang juga petugas keamanan pabrik pengolahan kelapa sawit tersebut, kerabatnya terpaksa harus membayar dengan tunai bertahap.
Karena masih kurang juga, malah Kapolsek-nya meminta sarang walet sebagai penutup biaya kekurangan dari tarif Rp 10 juta itu.
Alasan sang Kapolsek Jempang, Iptu Sainal Arifin, uang tersebut merupakan jatah untuk para anggota Polsek Jempang.
Ternyata penderitaan Fahrial dan kerabatnya belum tamat. Usai uang, sarang walet bahkan surat tanah dipegang para oknum Polsek Jempang sebagai ongkos pembebasan, Fahrial kembali dicokok oleh polisi yang sama dengan tuduhan yang masih sama pula walau tanpa ada barang bukti narkotika yang didapat oleh polisi (Kompas.com, 23/10/2022).
Usai kasus “memalukan” tersebut viral, barusalah sang kapolsek yang doyan sarang walet itu membantah dengan beragam alasan seperti jenderal polisi yang terbelit kasus pembunuhan.
Berbagai bantahannya tidak selaras dengan kisah Fahrial yang sebenarnya. Kapolres Kutai Barat, AKBP Heri Rusyaman langsung mencopot jabatan Iptu Sainal dan mengirimnya ke pemeriksaan Profesi dan Pengamanan Polres Kutai Barat.
Dari Bitung, Sulawesi Utara, aktivis Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) melaporkan temuannya tentang kelakuan polisi air (Polair) yang doyan “duit”.
Nelayan-nelayan kecil yang untuk beli solar bersubsibdi saja sudah susah dan dengan hasil tangkapan melaut yang minim, masih harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk oknum Polair yang nakal.
Dengan dalih melakukan pengamanan, oknum Polair kerap memeriksa kapal-kapal nelayan yang hendak melakukan bongkar ikan di Pelabuhan Bitung.
Cara-cara seperti itu dikhawatirkan GAMKI akan merusak investasi di Bitung dan jelas betul kelakuan oknum Polair sangat menyusahkan kehidupan nelayan yang sudah susah (Rmolsumut.id, 30 Agustus 2022).
Dua contoh kasus kelauan polisi tanpa akhlak ini sengaja saya nukil sebagai “pekerjaan rumah” bagi Polri dan kita sebagai warga masyarakat yang telah menunaikan kewajiban membayar pajak untuk pemasukan negara serta di antaranya untuk membiayai Polri, untuk sama-sama “mengawasi” kelakuan polisi di lapangan.
Semua tindakan yang dilakukan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mulai dari memotong kepala ikan jika ada ekornya yang busuk, memecat, menunda kenaikan pangkat bahkan menurunkan jabatan atau mendemosi sudah dilakukan oleh Listyo.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, personel Polri yang tidak bisa mengikuti komitmen dan semangat yang sama dipersilahkan untuk keluar dari koprs Bhayangkara.
Tetapi mengapa masih ada juga polisi yang tega minta sarang walet atau memalak nelayan miskin di tengah semangat Listyo yang menggebu-gebu?
Saya kerap melakukan jajak pendapat sederhana di kelas mengenai cita-cita pelajar SMA setelah lulus sekolah akan kemana melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Sebagian besar yang bercita-cita masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, lebih banyak memilih Akademi Kepolisian dengan alasan ingin cepat kaya.