Jadi jangan harap menjadi sosok polisi seperti Inspektur Vijay atau “boro-boro” menjadi Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, polisi sederhana hanyalah utopia.
Tetapi di balik itu, saya meyakini masih ada pula yang bercita-cita luhur ingin menjadi polisi yang baik, melawan kejahatan dan membantu masyarakat kecil.
Harus diakui, masyarakat kita sudah biasa melihat polisi tajir dan malah aneh melihat polisi “kismin”.
Personel Polri sudah terbiasa “mengeluarkan” uang untuk bisa sekolah agar bisa naik pangkat. Jika sudah berpangkat, harus keluar dana lagi agar dapat jabatan “basah”.
Biar jabatan awet, maka keluar uang lagi agar tidak dimutasi ke tempat “lembab” apalagi “kering”.
Saat mendampingi Presiden RI ke-V Megawati Soekarnoputeri ke suatu daerah yang sohor disebut “nasib tergantung Tuhan”, seorang kapolda berkeluh kesah dirinya begitu susah berdinas di tempat itu.
Beberapa tahun kemudian, saya menjumpai pensiunan kapolda tersebut menikmati masa pensiunnya dengan rumah berlahan luas “banget” beserta kebun binatang mininya di pinggiran Jakarta.
Gaya hidup polisi yang hedon, tidak malu-malu menampilkan gaya hidupnya yang glamour, bahkan dielu-elukan para alumni sekolahnya karena menjadi polisi paling “tajir melintir” serta kerap bertindak arogan dan sewenang-wenang di masyarakat, harusnya menjadi kisah lama bagi semua insan polisi.
Polisi yang baik bukan saja kita lihat dari sosok Pak Bhabin di saluran Youtube tetapi memang nyata ada dalam kehidupan.
Perlu ada perubahan kultur di internal kepolisian. Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menghentikan permainan uang di segala jenjang kepolisian harus kita dukung bersama agar mata rantai “perlu fulus” dipotong bahkan dihilangkan sama sekali.
Kemarahan Presiden Joko Widodo saat mengumpulkan seluruh jajaran pejabat utama di Mabes Polri, seluruh kapolda hingga kapolres se tanah di Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu jelang pengumuman kasus Teddy Minahasa adalah “tampolan” terkeras bagi kepolisian.
Beberapa waktu lalu, saya diundang sebagai pembedah dan pembahas hasil penelitian para pengajar dan perwira polisi di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK) Jakarta.
Saya masih melihat sebuah optimisme tentang semangat reformasi kultural di internal kepolisian.
Semangat itu tetap ada, kini tinggal para pimpinan, dari para kapolda, kapolres hingga kapolsek sampai kapospol untuk memberi suri tauladan dan contoh yang baik.
Bawahan pasti akan mengikuti jejak para pimpinannya. Pengawasan internal juga tidak boleh dilupakan.
Saya yakin Intan Sriastusti, gadis asal Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur yang memviralkan lagu “Betapa Syulit Lupakan Rehan” di media sosial, suatu ketika akan tergelitik menyanyikan sosok polisi yang jujur, baik hati dan rajin menabung pahala.
Ternyata masih ada polisi yang (masih) punya akhlak di masa “syulit” dan “syusah” seperti sekarang ini di saat ancaman resesi ekonomi di depan pelupuk mata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.